KUMPULAN PUISI 1976

01 Pamit  02 Bingkisan Ulang Tahun 03 Bis Kota  04 Ranting itu pun Patah  05 Syair Patah  06 Rindu  07 Parlance  08 Di Kota Ini  09 Fragmen Perjalanan  10 Ilusi  11 Laguku  12 Ketika Aku Meinggalkanmu  13 Catatan Malam Ini 14 Bingkai  15 Kisah Sebuah Potret  16 Ajakan Buat Kawan  17 Bukan Siapa-siapa  18 Kepada Dik Hermin  19 Ijen  20 Kerangkeng  21 Sambat  22 Proyeksi Duniaku  23 Kisah Seorang yang Istrinya ditabrak Mobil  24 Dialog  25 Di Serambi Toko Cina Waktu Hujan Turun  26 Anak Kecil dan Kupu-kupu  27 Pedagang Rokok Di Terminal Salatiga   28 Bila Malam Menjadi Dalam  29 Bantal  30 Di  31 Klimaks  32 Kata-kata Untuk "Be"  33 Di Sini

   ***************************************************************************************************************************

 

01 Pamit

kau dengar pamitku

tersedu dalam rintik hujan mengumpat kesal

dan jam kota kedinginan

tanpa gairah

mengamati selamat tinggal yang kecewa?

 

pamit ini juga tanyaku:

bencikah kau?

dan jawabmu manis: ‘minggatlah’

dari senyum ke senyum menetes luka

 

                                                Jakarta, awal Februari 1976

[Back]

 

 

02 Bingkisan Ulang Tahun

 di sisi bingkisan itu

anggrek layu

dibukanya dengan gagap

tak ada senyum di dalamnya

ditelusurnya sampul kusut

di sudut terselip sebentuk air mata kering

mengucapkan:

            “selamat ulang tahun”

 

                                                Jakarta, 23 Februari 1976

[Back]

 

 

03 Bis Kota

selain bau busuk, di situ kutemui

rumus emansipasi dan ekspansi

saling bergumul berebut hak

karna sama-sama tak punya

 

seorang nenek berdoa di genggaman tangan

yang tipis berkerut

bintik air matanya bertanya

tentang tamasya di atas kereta, yang lewat di atas pucuk-pucuk rumput

kapan sampai di langit tak bermendung

untuk istirah semangat yang berkarat?

 

dari keping jiwanya melayang

sehelai jawab membentur kaca

hancur pula hatinya terkenang

            kaki dipan yang patah waktu melahirkan dulu

            dengan pasrah kepada Gusti

 

dari secuwil karcis kembali hatinya melonjak

pada kelembutan mobil-mobil mewah mengangguk protes

ada tangan bayi menggapai

diterawangnya kabut di luar jendela

mungkin di sana terbentang

tanah lapang untuk merentang kaki yang linu

 

masuk! masuk!

naik! naik!

dorong mendorong, injak menginjak

apakah arti seutas harap dalam genggaman tangan rapuh?

senyum-senyum polos

sungut-sungut polos

teriak-teriak polos

polos itu hitam,

karna di pinggir jalan kambing-kambing berebut makan

dan orang-orang repot dengan dirinya

 

ada yang berbaik hati kepada seorang pikun

tapi ada yang berteriak:

peradatan banci!

seharusnya di benam dalam usia zaman

karna yang mati saat ini bukan pahlawan

dan di sini sudah berdiri tiang-tiang besi menembus langit

tempat burung-burung letih bertengger

baru kita dapatkan kebenaran

 

kebenaran, katamu?

 

masing-masing berada dalam pesonanya

bersama nafas hitam-hitam berat

kadang-kadang jadi laut yang mendebur

pecah dalam kenangan masa lampau:

adakah di senja turun ini lelaki

bertangan sebersih kaki angsa

atau perempuan berhati air kelapa

mengalir di jalan-jalan berdebu?

 

bersama nafas hitam-hitam berat, bis kota terus melaju

mendendangkan gemuruh kata hati, yang cabik di pagar jalan

inikah manusia?

dan aku?

tergoyang di atas kereta tua

kudanya kurus-kurus

bersama nafas hitam-hitam berat 

 

                                                Jakarta, 27 Februari 1976

[Back]

 

 

 

04 Ranting Itu Pun Patah 

angin bertiup, ranting itu patah-patah

bukan karena terinjak, tapi patah sendiri

bosan menahun

memantul dari kulitnya yang mengelopak

 

patahnya tak bercerita

karna sendiri

 

hanya terakhir diusap wajahnya

tanpa malu

dan katanya:

            “laknat!”

            “laknat!”

wajah itu biru

mati

                                                Jakarta, akhir Februari 1976

[Back]

 

 

05 Syair Patah 

bila isteriku berdiri di ambang pintu ini

dengan sedih yang koyak

tentu akan kukatakan:

            h e r m i n

            anak kita telah mati

            kapan kau bikinkan aku sebiji lagi

untuk tumbal pagelaran?

 

dia tak kan menyahut

tapi aku tahu, di hatinya tumbuh cemara

yang berisik daun-daunnya

                                                            Jakarta, Maret 1976

[Back]

 

 

06 R i n d u

adakah lagu kala mawar kuning itu bersenda sepagi ini?

adakah rindu menyanyi dalam dekapan bulu kupu-kupu

membuat syair dari daun-daun kering

dalam angin lewat bersama sendu yang mengigau

                        tentang cium

                        tentang peluk?

 

paling surat menyurat berdebu

membawa cerita tentang

                        pohon jambu di samping kamar

                        buahnya dipetik orang

                        pagar bambu melintang

                        mengurung gadis telanjang

                        ada perawan tua bunuh diri

                        dengan kuncup muda di tangan

 

ini prolegomena?

bahwa

pagi ini rindu tak cukup usia

menyanyi dalam dekapan

kupu-kupu membuat syair dari daun-daun kering 

                                                            Jakarta, 2 Maret 1976

[Back]

 

  

07 ParlanceI  

kenapa pohon akasia ini kering, pa? 

            memang, nak,

            kematian bukan sekadar istilah

adakah perdu-perdu jalang bernafas di tanah seterjal ini?

            mungkinkah bulan lewat menenteng pengingkaran, nak?

            atau carang-carang menghirup sinar-sinarnya?

 

            di sini tanah-tanah merekah

            apa yang dikandungnya?

            seekor tikus kepanasan

            berangan tentang telaga di tengah hutan

            tempat peri-peri mandi

            dengan siapa, nak, kau di sini?

            adakah di dalam sembahyang kau punya senyum?

            itu memang konfrontasi

            atau mungkin kau harus dipaksa untuk percaya

            bahwa: hausmu tidak menjadi licin

            dengan ceritaku tentang banjir

itu pun konfrontasi

 

mana perhentian, pa?

            itu bahasa lain dari kata hati, nak

            tidak betah memang terlalu asing

  

             II 

seperti sediakala

orang tak mengenali perjalanannya

peristirahatan tak pernah ditemukan

mana Gusti?

kadang-kadang memang ada di saku

ala kadarnya, basa-basi mesra

 

dan di tikungan jalan itu

masih ada anak-anak bermain jamuran 

 

III 

bila bumi ini tetap dalam rotasinya

malam akan menggelapi arena

dan jika seorang berkata:

                        jangan aku

tentu yang lain berseru:

                        berikan kepadaku

karna dalam pertemuan

setiap orang merasa sendiri

 

hari ini maut menjadi ilham

barangkali itik berenang mati tenggelam?

alhamdullilah!

memang di ketandusan lidah-lidah terlalu kaku

 

                                                            Jakarta, 25 Maret 1976

[Back]

 

 

 

08 Di Kota Ini 

I

senantiasa aku terpicing karna ketukan-ketukan

pada setiap jengkal tubuhku lalu

bercanda dengan serpihan-serpihan kota

yang hamil oleh berbagai macam gelisah

wajah-wajah kejang dalam pelukan

hari esok yang mencari-cari

ke mana detak nadi kan beristirah

mengapa?

semua menggumpal dalam khusuk samadi

 

II

manis, tentu aku mau bercerita untukmu

di sini matahari beringsut lelah sekali

sinarnya pucat

bergelantung berat di atap-atap loteng

barangkali ada sebongkah yang jatuh

itu pun tak berarti

tidak seperti di desa

ada dendang di tiap pagi dalam kibasan sayap burung-burung

dan bocah-bocah kecil bertepuk jenaka

bermain rumput di halaman

bertanya tentang angin

 

di sini tak ada mega-mega jingga

menyelusup dahan-dahan pepohonan

dan menyuntingkan butir-butir embun di rona taman

karna mega-mega itu air mata

 

pula tak ada nyaring tembang kinanthi

menyusur tebing tempat gembala berbaring

atau kidung dari alam yang ramah

dalam wajah gadis-gadis desa

menjeling pada padi menguning

berbinar dalam rekah senyum deretan gigi yang rapih

 

III

semua orang langkahnya tegang

karna di tiap ujung jari terlukis renggutan

hidup bukanlah alam terbuka

tapi tulang-tulang

yang diperebutkan anjing-anjing jalanan

dan tangan-tangan meraih

 

memang di sini ada Tuhan

tetapi manis dan bebas

berbeda dengan Tuhan di desa

orang  boleh telanjang tidak dikutuk

karna di sini

kutang menjadi pertanda purbakala

siapa tak suka ketelanjangan

uang, musik serta lampu-lampu hias?

bermain di atas puting susu dengan kebosanan dan titik keringat

itu pun tidak dikutuk

kalau Tuhan kejam seperti di desa,

berapa jumlah yang mati?

  

IV

manis, kau boleh percaya boleh tidak

aku letih

ingin berbaring di sungai yang berkelok-kelok di desamu itu

karna di sini parit dan selokan warnanya hitam

aku rindu seteguk pecahan bibirmu

untuk kembali dan menyusu tetekmu

ini pernyataan manis

walau mungkin daun-daun kering itu kedatanganku

dan tentu kau biarkan bukan

sepasang burung gereja bermain di taman?

 

V

percayalah manis,

kota ini musababku untuk kembali

 

Jakarta, 8 Maret 1976  

[Back]

 

 

09 Fragmen Perjalanan

orang-orang hilir mudik di depan jendelaku

mereka tak bercelana dan bersepatu

berteriak-teriak bising sekali

daun-daun kering dimakannya

karna hidup dan kepuasan saling berjauhan

 

anak-anak kecil berbaris di jalan-jalan

membawa bendera hitam

katanya hari ini ada perayaann tirani

atau peperangan

dan bisik-bisik mereka yang lelah

aku ingin menumpang di bulan

bumi sudah terlalu pengap untuk sebuah ciuman

tapi kadang-kadang ada juga gelak tersisa

 

ah gatalnya pahaku

            keluh seorang betina

barangkali jamur kemaluannya berbiak

karna udara terlalu pekat

kadang-kadang jadi asyik sendirian

menekuni potret diri

yang sulit dikenali

maklum, dunia ini tidak tumbuh di atas menara

dan memang bisa jadi, orang-orang jatuh tanpa mendaki

 

Sukamandi, 5 April 1976 

[Back]

 

 

10 I l u s i

cintailah kami, ya sesama manusia!

ini adat yang menjadi doa bapa-bapa suci

dan menjadi rapal bagi orang-orang miskin

lucu sekali

sampai kapan kuat bertahan?

 

Jakarta, 7 April 1976

[Back]

 

 

11 L a g u k u

biarkan kali ini Tuhan

aku mengumpat sehabis-habisnya

karna lidahku mengecap

anyir nanah perjuangan yang patah

tertelan mencocok tenggorok

 

biarkan Tuhan

mulutku muntahkan caci maki

dan beri di dalamnya roh suci

yang memagut setiap perut bunting

mengandungkan polusi kemanusiaan

 

dengungkan konfesi dengan otot baja

dan bersemboyan

            “aku menang dalam perang”

hingga di atas arena ini

berdiri demokrasi!

 

Jakarta, 15 April 1976

[Back]

 

 

12 Ketika Aku Meninggalkanmu 

ketika aku meninggalkanmu

dokar tua itu masih tergolek di pojok kotamu

dan tentu saja tak ada alasan bagimu

ikut membaca nanar mataku

menatap senja yang alum

luka inikah penghantar kepergianku?

seirama derap kaki kuda meniti lorong-lorong

dan perih menyelinap tiap-tiap senja lewat

 

ketika aku meninggalkanmu

tak kutemui suara lembut menepi

di sudut bibir seperti sediakala

karna pergiku kali ini untuk kecewa

 

mendung hitam memagar perjalanan

dan hutan-hutan di sisi kereta termangu

mungkin mereka menyapa pedihku

kenapa pergi untuk kecewa?    

 

tuanku di lereng Merbabu

aku tak kan kembali

seperti kau pun tak kan menanti

vaya condios

 

Jakarta, 20 April 1976

[Back]

  

 

 

13 Catatan Malam Ini 

waktu menunjuk jam setengah satu

 

malam ini ada yang tertidur lelap,

tapi ada juga yang kedinginan di tanah becek

malam ini ada yang berpesta pora,

tapi ada yang merindukan sesuap nasi untuk sekadar ganjal

malam ini masih ada mobil kebut-kebutan,

tapi juga banyak yang bergerak pun tak sempat

malam ini ada yang melahirkan,

tapi ada juga kematian

malam ini ada yang bersetubuh,

tapi ada juga yang kangen menikmatinya

malam ini ada yang menikah,

tapi ada pula yang bertengkar untuk cerai

 

mengapa malam ini KAU sudutkan kota dan desa?

 

malam ini ada musik sayup-sayup lembut,

tapi ada juga gejolak jiwa urakan

malam ini ada perkosaan, perampokan, dan pembunuhan,

tapi ada juga orangtua memberi petuah

dan sedikit damai bisa dikunyah

malam ini tentu ada yang berdebat soal-soal apa,

dan ada pula suami-isteri berbincang soal tetangga

 

mengapa malam ini KAU pertaruhkan segala peristiwa?

 

malam ini masih ada bus-bus dipacu

membawa desa dan maksud-maksud apa

tapi ada pula gerobak tua seringkih legenda hidup

malam ini ada meditasi

malam ini ada mimpi

malam ini ada tangis

malam ini ada senyum

 

mengapa malam ini KAU baurkan visi-visi?

 

malam ini ada ibu yang meneteki bayinya

rewel karena sawan

dan ada yang berpikir tentang hari esok

mungkin ada bencana

 

mengapa malam ini KAU biarkan berlalu ritmik?

 

dan biarkan malam ini aku tidur

dengan nafas teratur

untuk memulai sekali lagi

perjalanan esok hari

 

Jakarta, 7 Mei 1976

 [Back]

 

 

 

14 B i n g k a i

kuerat berpagut dengan terik yang tumpah

o, bumiku kemarau sendiri

menyengat

 

di tempatku berpijak

ada peluh mengeluh dan nafas menyesak

pendeknya waktu

lunas dalam segenggam kata

sia-sia

 

Jakarta, 3 Mei 1976

[Back]

 

 

15 Kisah Sebuah Potret

tergantung di dinding

berpaku terasing

keluhnya:

                        gegat,

                        kapan habisku?

tanpa dosa

selesai kini, aku bukan gugat

 

Jakarta, 8 Mei 1976

[Back]

 

 

16 Ajakan Buat Kawan

mari kita tancapkan di pelataran hotel mewah ini

tiang-tiang untuk mencanangkan bende

yang gemuruhnya memenuhi angkasa

dengan lagu-lagu menyayat

lahir dari harkat hati yang paling dalam

sebelum kita berbalik

dan meneguk racun bersama

 

ini pidato kita yang pertama, kawan

 

mari kita tegakkan di sisi monumen ini

andong tak berkuda dan tulang-tulang lapuk

berjuang melawan zaman

agar semua orang melihat betapa artistiknya

simfoni ini dipahat dalam hati rakyat

sebelum peluru mengakhiri cerita kita

 

sejak saat itu kita tak berpidato lagi

Jakarta, 9 Mei 1976

[Back]

 

 

17 Bukan Siapa-siapa   

bila orang tak menyapaku

aku pun biasa saja

bila orang tak melihatku

aku biasa saja

bila orang tak menganggapku ada

aku tetap biasa

bila ada orang bilang mengenal aku

itu luar biasa

karna aku sendiri pun tak tahu siapa

dan tak juga mengenal dia siapa

 

Jakarta, 9 Mei 1976

[Back]

 

 

 

18 Kepada Dik Hermin

dik  h e r m i n

keringat yang kita kucurkan bersama kemarin

kini kita jerang

hingga kita temukan kristal lembut

dan kita cium bau daging terbakar

kemudian sama-sama terkapar

seperti tetes cat jatuh di atas kanvas

karena dunia kita putih

Jakarta, 10 Mei 1976

 [Back]

 

 

 

19 I j e n

malam dipenuhi bulan

suara lengking memanjang

ijen! ijeeeeennn!

bulan dungu

Jakarta, 14 Mei 1976

 [Back]

 

 

 

20 Kerangkeng

di dalam kerangkeng yang kulihat

ada macan

tua

tak bergigi

aku terjepit di tengah ompongnya

ada kerangkeng?

ada

ada macan ompong?

ada

macan ompong dalam kerangkeng, mengapa?

Jakarta, 15 Mei 1976

[Back]

 

 

 

21 Sambat

lepaskan matahari yang kau genggam itu

seru seorang anak terjerembab dalam selokan

pada langit yang menjepit

dan ia tetap kedinginan

 

Jakarta, 16 Mei 1976

[Back]

 

 

22 Proyeksi Duniaku 

wajah-wajah kutatap dalam satu ruang

berpaling untuk pergi

karna aku berpadu dengan caci

yang abstrak untuk sebuah perjumpaan

itu memang hak mereka

kataku dalam hati

sambil turut pergi

 

di perjalanan aku bertemu anjing-anjing

sebelum kusapa mereka pun berlari

itu memang hak mereka

kataku dalam hati

sambil turut lari

 

mereka ke mana

dan aku juga?

 

tapi bila saatnya nanti

siapa saja ketemu Gusti

wajah-wajah yang kutatap tak sempat pergi

anjing-anjing yang kujumpa tak sempat lari

dan aku pun tidak pergi

tidak lari

juga tak sempat bertanya ke mana

karna kutemui jawabnya

            “cacimu Ku-biarkan telanjang”

aku?

            “ya!”

Jakarta, 17 Mei 1976

[Back]

 

 

23 Kisah Seorang yang Istrinya Mati Ditabrak Mobil 

air menjadi lembut diterkam

isterinya mati ditabrak mobil

                                    (ia dengar dari berita)

ia tak punya mobil untuk menabrak isteri orang

ia sedih

bergumul dengan kemandulannya

isterinya mati ditabrak mobil

                                    (ia dengar dari berita)

ia lari mengejar

lupa kakinya tertatih-tatih

air menjadi lembut diterkam

karna ia tak dapat membalasnya

tapi masih pula sangsi

betulkah isterinya mati

dan kepalanya mengangguk untuk mobil yang pergi

 

isterinya mati ditabrak mobil

                                    (ia dengar dari berita)

ia lari mengejar dengan sangsi

betulkah isterinya mati

kepalanya tundung dalam senyum asing

mulai mengerti

 

ia pun asing bagi dirinya

air menjadi lembut diterkam

karna isterinya mati ditabrak mobil

                                    (kali ini ia melihatnya)

Jakarta, 19 Mei 1976

[Back]

 

 

24 D i a l o g

 “kudengarkan nyenyak tidurmu

dan kuusir desir angin yang mengganggu mimpimu”

                        kata Tuhan

                        saat kumeramkann gundah

                        dan apa kata-nya pula bila esok hari

                        kutelan segumpal darah kental

                        dari janin harap tak jadi lahir?

“kau mesti pasrah, thole

tak cukup waktu kupertanyakan diri

pasrah bukanlah kata dalambingkai alienasi

“berdirilah sebagai seorang, thole!”

                        kata Tuhan

                        dan apa kata-Nya bila desir angin

berbaur hembusan nafas

bertalu-talu mematuk cinta malam? 

Jakarta, 1 Juni 1976

[Back]

 

 

25 Di Serambi Toko Cina Waktu Hujan Turun

 gerimis menatap mata seorang buta

ah, kenapa kau usik merdekaku?

tari-jarinya tengadah sebagai ganti kata

menampar titik air

                        busyet, tak juga ada belas!

sekali-sekali angin menerpa kejam

kuhimpit engkau

dan orang buta itu makinmelekat di tembok toko

 Jakarta, Juni 1976

[Back]

 

 

26 Anak Kecil dan Kupu-kupu

 kucium pundakmu yang kering

            dan kupu-kupu itu hinggap

si anak kecil jadi tergagap

            pasti kutangkap engkau

            (katanya pada diri sendiri)

kupu-kupu tersenyum haru

sambil terbang

si anak jadi terpana

            demit! umpatnya

            kau pasti kusambit

            kupu-kupu, engkau hinggap di mana?

 Jakarta, Juni 1976

[Back] 

 

 

27 Pedagang Rokok di Terminal Bus Salatiga

angin mengusap dagunya yang lancip

pedagang rokok tersipu

karna bertahun-tahun tidak dicumbu

angin terlena

didekap ke dadanya

 

Salatiga, 4 Juni 1976

[Back]

 

  

 

28 Bila Malam Menjadi Dalam

 bila malam menjadi dalam:

            dari jendela aku melihat

            bulan bergelut dengan pucuk-pucuk daun jambu

            hai berhenti!

            itu pekik sunyi mencabik suasana

dari lidah terjulur

menetes air tanpa garam

dan yang lewat hilir mudik itu

kunamai dia sepi

 

bila malam menjadi dalam:

            bunga sedap malam berpeluk mesra

            dengan mazmur nenek tua

            hai iblis!

            jangan menggelinjang

            dan yang lari tunggang-langgang itu

            kunamai dia kunang-kunang

 

bila malam menjadi dalam:

            semua semua berpadu

            semua semua bersatu

            dan yang menceraikan diri

            kusebut dia sepi

            dan sepi itu tetap beterbangan

            bersama kunang-kunang

 

Jakarta, 6 Juni 1976 

[Back]

 

  

 

29 B a n t a l

kuraih kuraba kudamprat kuumpat kusampar kulempar kudekap kuremas kugugut kukunyah kumakan kutelan

kutanya kukata kupuja kuusap kucium

kutimang kusayang kukupas kujilat kulepas kupijat

karna kau kehadiran  h e r m i n k u

tak debu melekat

tak api hanguskan

karna kau kekasihku

 

Jakarta, 7 Juni 1976

[Back]

 

 

30 D i

 di kamar mandi

kujumpa siapa saja

kukata dengan siapa saja

kuberbuat apa saja

 

di tempat tidur

kujumpa siapa saja

kukata dengan siapa saja

kuberbuat apa saja

 

di wc di laut di gua di kereta dan di mana saja

aku berjumpa siapa saja

aku berkata dengan siapa saja

aku berbuat apa saja

 

Jakarta, 8 Juni 1976

[Back]

 

 

 

31 K l i m a k s

tiang-tiang tumbang

matahari bergoyang-goyang jatuh dalam pelukan

anak-anak kecil terisak

melihat bulan meleleh di pangkuan ibunya

 

hendakkah ditepis sapa yang hadir

seperti derap

sedang badai membakar tiap tubuh

tanpa sesal lahir dalam bahasa

kata-kata

tanpa kata

 

tiang-tiang tumbang

matahari memudar putihnya

bulan kering

memipih

dalam puisi

 

orang-orang tak lagi menyanyi dalam duka, karna dari hari ke hari desah telah menjadi nafas yang kadang dihentak dengan sebuah jerit nyaring

jalan-jalan menjadi sunyi dan di pos-pos penjagaan para malaikat memakai masker, tak tahan bau anyir kematian dalam cairan biru kental

“hentikan pembantaian ini” perintah-Nya

“cukup, Aku mau muntah menghirup darah busuk manusia, hentikan!”

dari atas baluwarti tampak senyum seorang terbalut surjan putih berkain batik parang rusak memanggil serombongan makhluk-makhluk kumal dengan tawa-tawa mereka

pendeta-pendetakah mereka?

bukan!

pendeta-pendeta telah mati di atas mimbarnya

haji-hajikah mereka?

bukan!

haji-haji telah kering tafakur di padang gurun

pastor-pastorkah mereka?

bukan!

pastor-pastor tersekap dalam biaranya

mereka serikat jagal manusia

 

matahari lenyap

layar ditutup

“selesailah kini drama-Ku”

                        (dan Ia istirahat)

 

Jakarta, Juli 1976 

[Back]

 

 

32 Kata-kata Untuk "Be"

 tempat kita berbaring adalah debu-debu

dengan terik setiap saat menubai

be, ingat

nanti jua datang tapak berat

kau tunggu nalurimu orgasme

hingga tak ada rasa dapat terasa

be, setuju bukan

kalau segalanya kita tunggu bersama?

 

Jakarta, Juli 1976

[Back]

 

 

 

33 Di Sini 

di sini ku kan istirahat

tanpa tonggak tertancap

di sini ku kan istirahat

tanpa derap gegap

di sini ku kan istirahat

tanpa cumbu rayu

di sini ku kan satukan perih, duka dan tawa

dalam satu bentuk fiksi

istirahat abadi

 

kiranya bukan kau

tapi aku yang rebah

biarlah berlalu rasa kangenku

Jakarta, Juli 1976

[Back]

                  

 

[Soneta Indonesia] [B Subandrijo]

 Copyright©soneta.org 200
 For problems or questions regarding this web contact
[admin@soneta.org] 
Last updated: 03/10/2007