KUMPULAN PUISI 1976 01 Pamit 02 Bingkisan Ulang Tahun 03 Bis Kota 04 Ranting itu pun Patah 05 Syair Patah 06 Rindu 07 Parlance 08 Di Kota Ini 09 Fragmen Perjalanan 10 Ilusi 11 Laguku 12 Ketika Aku Meinggalkanmu 13 Catatan Malam Ini 14 Bingkai 15 Kisah Sebuah Potret 16 Ajakan Buat Kawan 17 Bukan Siapa-siapa 18 Kepada Dik Hermin 19 Ijen 20 Kerangkeng 21 Sambat 22 Proyeksi Duniaku 23 Kisah Seorang yang Istrinya ditabrak Mobil 24 Dialog 25 Di Serambi Toko Cina Waktu Hujan Turun 26 Anak Kecil dan Kupu-kupu 27 Pedagang Rokok Di Terminal Salatiga 28 Bila Malam Menjadi Dalam 29 Bantal 30 Di 31 Klimaks 32 Kata-kata Untuk "Be" 33 Di Sini ***************************************************************************************************************************
kau dengar pamitku tersedu dalam rintik hujan mengumpat kesal dan jam kota kedinginan tanpa gairah mengamati selamat tinggal yang kecewa?
pamit ini juga tanyaku: bencikah kau? dan jawabmu manis: ‘minggatlah’ dari senyum ke senyum menetes luka
Jakarta, awal Februari 1976
di sisi bingkisan itu anggrek layu dibukanya dengan gagap tak ada senyum di dalamnya ditelusurnya sampul kusut di sudut terselip sebentuk air mata kering mengucapkan: “selamat ulang tahun”
Jakarta, 23 Februari 1976
selain bau busuk, di situ kutemui rumus emansipasi dan ekspansi saling bergumul berebut hak karna sama-sama tak punya
seorang nenek berdoa di genggaman tangan yang tipis berkerut bintik air matanya bertanya tentang tamasya di atas kereta, yang lewat di atas pucuk-pucuk rumput kapan sampai di langit tak bermendung untuk istirah semangat yang berkarat?
dari keping jiwanya melayang sehelai jawab membentur kaca hancur pula hatinya terkenang kaki dipan yang patah waktu melahirkan dulu dengan pasrah kepada Gusti
dari secuwil karcis kembali hatinya melonjak pada kelembutan mobil-mobil mewah mengangguk protes ada tangan bayi menggapai diterawangnya kabut di luar jendela mungkin di sana terbentang tanah lapang untuk merentang kaki yang linu
masuk! masuk! naik! naik! dorong mendorong, injak menginjak apakah arti seutas harap dalam genggaman tangan rapuh? senyum-senyum polos sungut-sungut polos teriak-teriak polos polos itu hitam, karna di pinggir jalan kambing-kambing berebut makan dan orang-orang repot dengan dirinya
ada yang berbaik hati kepada seorang pikun tapi ada yang berteriak: peradatan banci! seharusnya di benam dalam usia zaman karna yang mati saat ini bukan pahlawan dan di sini sudah berdiri tiang-tiang besi menembus langit tempat burung-burung letih bertengger baru kita dapatkan kebenaran
kebenaran, katamu?
masing-masing berada dalam pesonanya bersama nafas hitam-hitam berat kadang-kadang jadi laut yang mendebur pecah dalam kenangan masa lampau: adakah di senja turun ini lelaki bertangan sebersih kaki angsa atau perempuan berhati air kelapa mengalir di jalan-jalan berdebu?
bersama nafas hitam-hitam berat, bis kota terus melaju mendendangkan gemuruh kata hati, yang cabik di pagar jalan inikah manusia? dan aku? tergoyang di atas kereta tua kudanya kurus-kurus bersama nafas hitam-hitam berat
Jakarta, 27 Februari 1976
angin bertiup, ranting itu patah-patah bukan karena terinjak, tapi patah sendiri bosan menahun memantul dari kulitnya yang mengelopak
patahnya tak bercerita karna sendiri
hanya terakhir diusap wajahnya tanpa malu dan katanya: “laknat!” “laknat!” wajah itu biru mati Jakarta, akhir Februari 1976
bila isteriku berdiri di ambang pintu ini dengan sedih yang koyak tentu akan kukatakan: h e r m i n anak kita telah mati kapan kau bikinkan aku sebiji lagi untuk tumbal pagelaran?
dia tak kan menyahut tapi aku tahu, di hatinya tumbuh cemara yang berisik daun-daunnya Jakarta, Maret 1976
adakah lagu kala mawar kuning itu bersenda sepagi ini? adakah rindu menyanyi dalam dekapan bulu kupu-kupu membuat syair dari daun-daun kering dalam angin lewat bersama sendu yang mengigau tentang cium tentang peluk?
paling surat menyurat berdebu membawa cerita tentang pohon jambu di samping kamar buahnya dipetik orang pagar bambu melintang mengurung gadis telanjang ada perawan tua bunuh diri dengan kuncup muda di tangan
ini prolegomena? bahwa pagi ini rindu tak cukup usia menyanyi dalam dekapan kupu-kupu membuat syair dari daun-daun kering Jakarta, 2 Maret 1976
kenapa pohon akasia ini kering, pa? memang, nak, kematian bukan sekadar istilah adakah perdu-perdu jalang bernafas di tanah seterjal ini? mungkinkah bulan lewat menenteng pengingkaran, nak? atau carang-carang menghirup sinar-sinarnya?
di sini tanah-tanah merekah apa yang dikandungnya? seekor tikus kepanasan berangan tentang telaga di tengah hutan tempat peri-peri mandi dengan siapa, nak, kau di sini? adakah di dalam sembahyang kau punya senyum? itu memang konfrontasi atau mungkin kau harus dipaksa untuk percaya bahwa: hausmu tidak menjadi licin dengan ceritaku tentang banjir itu pun konfrontasi
mana perhentian, pa? itu bahasa lain dari kata hati, nak tidak betah memang terlalu asing
II seperti sediakala orang tak mengenali perjalanannya peristirahatan tak pernah ditemukan mana Gusti? kadang-kadang memang ada di saku ala kadarnya, basa-basi mesra
dan di tikungan jalan itu masih ada anak-anak bermain jamuran
III bila bumi ini tetap dalam rotasinya malam akan menggelapi arena dan jika seorang berkata: jangan aku tentu yang lain berseru: berikan kepadaku karna dalam pertemuan setiap orang merasa sendiri
hari ini maut menjadi ilham barangkali itik berenang mati tenggelam? alhamdullilah! memang di ketandusan lidah-lidah terlalu kaku
Jakarta, 25 Maret 1976
I senantiasa aku terpicing karna ketukan-ketukan pada setiap jengkal tubuhku lalu bercanda dengan serpihan-serpihan kota yang hamil oleh berbagai macam gelisah wajah-wajah kejang dalam pelukan hari esok yang mencari-cari ke mana detak nadi kan beristirah mengapa? semua menggumpal dalam khusuk samadi
II manis, tentu aku mau bercerita untukmu di sini matahari beringsut lelah sekali sinarnya pucat bergelantung berat di atap-atap loteng barangkali ada sebongkah yang jatuh itu pun tak berarti tidak seperti di desa ada dendang di tiap pagi dalam kibasan sayap burung-burung dan bocah-bocah kecil bertepuk jenaka bermain rumput di halaman bertanya tentang angin
di sini tak ada mega-mega jingga menyelusup dahan-dahan pepohonan dan menyuntingkan butir-butir embun di rona taman karna mega-mega itu air mata
pula tak ada nyaring tembang kinanthi menyusur tebing tempat gembala berbaring atau kidung dari alam yang ramah dalam wajah gadis-gadis desa menjeling pada padi menguning berbinar dalam rekah senyum deretan gigi yang rapih
III semua orang langkahnya tegang karna di tiap ujung jari terlukis renggutan hidup bukanlah alam terbuka tapi tulang-tulang yang diperebutkan anjing-anjing jalanan dan tangan-tangan meraih
memang di sini ada Tuhan tetapi manis dan bebas berbeda dengan Tuhan di desa orang boleh telanjang tidak dikutuk karna di sini kutang menjadi pertanda purbakala siapa tak suka ketelanjangan uang, musik serta lampu-lampu hias? bermain di atas puting susu dengan kebosanan dan titik keringat itu pun tidak dikutuk kalau Tuhan kejam seperti di desa, berapa jumlah yang mati?
IV manis, kau boleh percaya boleh tidak aku letih ingin berbaring di sungai yang berkelok-kelok di desamu itu karna di sini parit dan selokan warnanya hitam aku rindu seteguk pecahan bibirmu untuk kembali dan menyusu tetekmu ini pernyataan manis walau mungkin daun-daun kering itu kedatanganku dan tentu kau biarkan bukan sepasang burung gereja bermain di taman?
V percayalah manis, kota ini musababku untuk kembali
Jakarta, 8 Maret 1976
orang-orang hilir mudik di depan jendelaku mereka tak bercelana dan bersepatu berteriak-teriak bising sekali daun-daun kering dimakannya karna hidup dan kepuasan saling berjauhan
anak-anak kecil berbaris di jalan-jalan membawa bendera hitam katanya hari ini ada perayaann tirani atau peperangan dan bisik-bisik mereka yang lelah aku ingin menumpang di bulan bumi sudah terlalu pengap untuk sebuah ciuman tapi kadang-kadang ada juga gelak tersisa
ah gatalnya pahaku keluh seorang betina barangkali jamur kemaluannya berbiak karna udara terlalu pekat kadang-kadang jadi asyik sendirian menekuni potret diri yang sulit dikenali maklum, dunia ini tidak tumbuh di atas menara dan memang bisa jadi, orang-orang jatuh tanpa mendaki
Sukamandi, 5 April 1976
cintailah kami, ya sesama manusia! ini adat yang menjadi doa bapa-bapa suci dan menjadi rapal bagi orang-orang miskin lucu sekali sampai kapan kuat bertahan?
Jakarta, 7 April 1976
biarkan kali ini Tuhan aku mengumpat sehabis-habisnya karna lidahku mengecap anyir nanah perjuangan yang patah tertelan mencocok tenggorok
biarkan Tuhan mulutku muntahkan caci maki dan beri di dalamnya roh suci yang memagut setiap perut bunting mengandungkan polusi kemanusiaan
dengungkan konfesi dengan otot baja dan bersemboyan “aku menang dalam perang” hingga di atas arena ini berdiri demokrasi!
Jakarta, 15 April 1976
ketika aku meninggalkanmu dokar tua itu masih tergolek di pojok kotamu dan tentu saja tak ada alasan bagimu ikut membaca nanar mataku menatap senja yang alum luka inikah penghantar kepergianku? seirama derap kaki kuda meniti lorong-lorong dan perih menyelinap tiap-tiap senja lewat
ketika aku meninggalkanmu tak kutemui suara lembut menepi di sudut bibir seperti sediakala karna pergiku kali ini untuk kecewa
mendung hitam memagar perjalanan dan hutan-hutan di sisi kereta termangu mungkin mereka menyapa pedihku kenapa pergi untuk kecewa?
tuanku di lereng Merbabu aku tak kan kembali seperti kau pun tak kan menanti vaya condios
Jakarta, 20 April 1976
waktu menunjuk jam setengah satu
malam ini ada yang tertidur lelap, tapi ada juga yang kedinginan di tanah becek malam ini ada yang berpesta pora, tapi ada yang merindukan sesuap nasi untuk sekadar ganjal malam ini masih ada mobil kebut-kebutan, tapi juga banyak yang bergerak pun tak sempat malam ini ada yang melahirkan, tapi ada juga kematian malam ini ada yang bersetubuh, tapi ada juga yang kangen menikmatinya malam ini ada yang menikah, tapi ada pula yang bertengkar untuk cerai
mengapa malam ini KAU sudutkan kota dan desa?
malam ini ada musik sayup-sayup lembut, tapi ada juga gejolak jiwa urakan malam ini ada perkosaan, perampokan, dan pembunuhan, tapi ada juga orangtua memberi petuah dan sedikit damai bisa dikunyah malam ini tentu ada yang berdebat soal-soal apa, dan ada pula suami-isteri berbincang soal tetangga
mengapa malam ini KAU pertaruhkan segala peristiwa?
malam ini masih ada bus-bus dipacu membawa desa dan maksud-maksud apa tapi ada pula gerobak tua seringkih legenda hidup malam ini ada meditasi malam ini ada mimpi malam ini ada tangis malam ini ada senyum
mengapa malam ini KAU baurkan visi-visi?
malam ini ada ibu yang meneteki bayinya rewel karena sawan dan ada yang berpikir tentang hari esok mungkin ada bencana
mengapa malam ini KAU biarkan berlalu ritmik?
dan biarkan malam ini aku tidur dengan nafas teratur untuk memulai sekali lagi perjalanan esok hari
Jakarta, 7 Mei 1976
kuerat berpagut dengan terik yang tumpah o, bumiku kemarau sendiri menyengat
di tempatku berpijak ada peluh mengeluh dan nafas menyesak pendeknya waktu lunas dalam segenggam kata sia-sia
Jakarta, 3 Mei 1976
tergantung di dinding berpaku terasing keluhnya: gegat, kapan habisku? tanpa dosa selesai kini, aku bukan gugat
Jakarta, 8 Mei 1976
mari kita tancapkan di pelataran hotel mewah ini tiang-tiang untuk mencanangkan bende yang gemuruhnya memenuhi angkasa dengan lagu-lagu menyayat lahir dari harkat hati yang paling dalam sebelum kita berbalik dan meneguk racun bersama
ini pidato kita yang pertama, kawan
mari kita tegakkan di sisi monumen ini andong tak berkuda dan tulang-tulang lapuk berjuang melawan zaman agar semua orang melihat betapa artistiknya simfoni ini dipahat dalam hati rakyat sebelum peluru mengakhiri cerita kita
sejak saat itu kita tak berpidato lagi Jakarta, 9 Mei 1976
bila orang tak menyapaku aku pun biasa saja bila orang tak melihatku aku biasa saja bila orang tak menganggapku ada aku tetap biasa bila ada orang bilang mengenal aku itu luar biasa karna aku sendiri pun tak tahu siapa dan tak juga mengenal dia siapa
Jakarta, 9 Mei 1976
dik h e r m i n keringat yang kita kucurkan bersama kemarin kini kita jerang hingga kita temukan kristal lembut dan kita cium bau daging terbakar kemudian sama-sama terkapar seperti tetes cat jatuh di atas kanvas karena dunia kita putih Jakarta, 10 Mei 1976
malam dipenuhi bulan suara lengking memanjang ijen! ijeeeeennn! bulan dungu Jakarta, 14 Mei 1976
di dalam kerangkeng yang kulihat ada macan tua tak bergigi aku terjepit di tengah ompongnya ada kerangkeng? ada ada macan ompong? ada macan ompong dalam kerangkeng, mengapa? Jakarta, 15 Mei 1976
lepaskan matahari yang kau genggam itu seru seorang anak terjerembab dalam selokan pada langit yang menjepit dan ia tetap kedinginan
Jakarta, 16 Mei 1976
wajah-wajah kutatap dalam satu ruang berpaling untuk pergi karna aku berpadu dengan caci yang abstrak untuk sebuah perjumpaan itu memang hak mereka kataku dalam hati sambil turut pergi
di perjalanan aku bertemu anjing-anjing sebelum kusapa mereka pun berlari itu memang hak mereka kataku dalam hati sambil turut lari
mereka ke mana dan aku juga?
tapi bila saatnya nanti siapa saja ketemu Gusti wajah-wajah yang kutatap tak sempat pergi anjing-anjing yang kujumpa tak sempat lari dan aku pun tidak pergi tidak lari juga tak sempat bertanya ke mana karna kutemui jawabnya “cacimu Ku-biarkan telanjang” aku? “ya!” Jakarta, 17 Mei 1976
23 Kisah Seorang yang Istrinya Mati Ditabrak Mobil air menjadi lembut diterkam isterinya mati ditabrak mobil (ia dengar dari berita) ia tak punya mobil untuk menabrak isteri orang ia sedih bergumul dengan kemandulannya isterinya mati ditabrak mobil (ia dengar dari berita) ia lari mengejar lupa kakinya tertatih-tatih air menjadi lembut diterkam karna ia tak dapat membalasnya tapi masih pula sangsi betulkah isterinya mati dan kepalanya mengangguk untuk mobil yang pergi
isterinya mati ditabrak mobil (ia dengar dari berita) ia lari mengejar dengan sangsi betulkah isterinya mati kepalanya tundung dalam senyum asing mulai mengerti
ia pun asing bagi dirinya air menjadi lembut diterkam karna isterinya mati ditabrak mobil (kali ini ia melihatnya) Jakarta, 19 Mei 1976
“kudengarkan nyenyak tidurmu dan kuusir desir angin yang mengganggu mimpimu” kata Tuhan saat kumeramkann gundah dan apa kata-nya pula bila esok hari kutelan segumpal darah kental dari janin harap tak jadi lahir? “kau mesti pasrah, thole” tak cukup waktu kupertanyakan diri pasrah bukanlah kata dalambingkai alienasi “berdirilah sebagai seorang, thole!” kata Tuhan dan apa kata-Nya bila desir angin berbaur hembusan nafas bertalu-talu mematuk cinta malam? Jakarta, 1 Juni 1976
25 Di Serambi Toko Cina Waktu Hujan Turun gerimis menatap mata seorang buta ah, kenapa kau usik merdekaku? tari-jarinya tengadah sebagai ganti kata menampar titik air busyet, tak juga ada belas! sekali-sekali angin menerpa kejam kuhimpit engkau dan orang buta itu makinmelekat di tembok toko Jakarta, Juni 1976
kucium pundakmu yang kering dan kupu-kupu itu hinggap si anak kecil jadi tergagap pasti kutangkap engkau (katanya pada diri sendiri) kupu-kupu tersenyum haru sambil terbang si anak jadi terpana demit! umpatnya kau pasti kusambit kupu-kupu, engkau hinggap di mana? Jakarta, Juni 1976
27 Pedagang Rokok di Terminal Bus Salatiga angin mengusap dagunya yang lancip pedagang rokok tersipu karna bertahun-tahun tidak dicumbu angin terlena didekap ke dadanya
Salatiga, 4 Juni 1976
bila malam menjadi dalam: dari jendela aku melihat bulan bergelut dengan pucuk-pucuk daun jambu hai berhenti! itu pekik sunyi mencabik suasana dari lidah terjulur menetes air tanpa garam dan yang lewat hilir mudik itu kunamai dia sepi
bila malam menjadi dalam: bunga sedap malam berpeluk mesra dengan mazmur nenek tua hai iblis! jangan menggelinjang dan yang lari tunggang-langgang itu kunamai dia kunang-kunang
bila malam menjadi dalam: semua semua berpadu semua semua bersatu dan yang menceraikan diri kusebut dia sepi dan sepi itu tetap beterbangan bersama kunang-kunang
Jakarta, 6 Juni 1976
kuraih kuraba kudamprat kuumpat kusampar kulempar kudekap kuremas kugugut kukunyah kumakan kutelan kutanya kukata kupuja kuusap kucium kutimang kusayang kukupas kujilat kulepas kupijat karna kau kehadiran h e r m i n k u tak debu melekat tak api hanguskan karna kau kekasihku
Jakarta, 7 Juni 1976
di kamar mandi kujumpa siapa saja kukata dengan siapa saja kuberbuat apa saja
di tempat tidur kujumpa siapa saja kukata dengan siapa saja kuberbuat apa saja
di wc di laut di gua di kereta dan di mana saja aku berjumpa siapa saja aku berkata dengan siapa saja aku berbuat apa saja
Jakarta, 8 Juni 1976
tiang-tiang tumbang matahari bergoyang-goyang jatuh dalam pelukan anak-anak kecil terisak melihat bulan meleleh di pangkuan ibunya
hendakkah ditepis sapa yang hadir seperti derap sedang badai membakar tiap tubuh tanpa sesal lahir dalam bahasa kata-kata tanpa kata
tiang-tiang tumbang matahari memudar putihnya bulan kering memipih dalam puisi
orang-orang tak lagi menyanyi dalam duka, karna dari hari ke hari desah telah menjadi nafas yang kadang dihentak dengan sebuah jerit nyaring jalan-jalan menjadi sunyi dan di pos-pos penjagaan para malaikat memakai masker, tak tahan bau anyir kematian dalam cairan biru kental “hentikan pembantaian ini” perintah-Nya “cukup, Aku mau muntah menghirup darah busuk manusia, hentikan!” dari atas baluwarti tampak senyum seorang terbalut surjan putih berkain batik parang rusak memanggil serombongan makhluk-makhluk kumal dengan tawa-tawa mereka pendeta-pendetakah mereka? bukan! pendeta-pendeta telah mati di atas mimbarnya haji-hajikah mereka? bukan! haji-haji telah kering tafakur di padang gurun pastor-pastorkah mereka? bukan! pastor-pastor tersekap dalam biaranya mereka serikat jagal manusia
matahari lenyap layar ditutup “selesailah kini drama-Ku” (dan Ia istirahat)
Jakarta, Juli 1976
tempat kita berbaring adalah debu-debu dengan terik setiap saat menubai be, ingat nanti jua datang tapak berat kau tunggu nalurimu orgasme hingga tak ada rasa dapat terasa be, setuju bukan kalau segalanya kita tunggu bersama?
Jakarta, Juli 1976
di sini ku kan istirahat tanpa tonggak tertancap di sini ku kan istirahat tanpa derap gegap di sini ku kan istirahat tanpa cumbu rayu di sini ku kan satukan perih, duka dan tawa dalam satu bentuk fiksi istirahat abadi
kiranya bukan kau tapi aku yang rebah biarlah berlalu rasa kangenku Jakarta, Juli 1976
[Soneta Indonesia] – [B Subandrijo]
|
Copyright© soneta.org 2004For problems or questions regarding this web contact [admin@soneta.org] Last updated: 03/10/2007
|