14 Darmasiksa di Pajajaran 1996

 

01 Darmasiksa di Pajajaran 02 Bagian Pertama: Keagungan Tuhan dan Keajaiban Alam 03 Bagian kedua: Kebaktian Hidup dan Kebenaran Darma 04 Bagian ketiga: Kesadaran Batin dan Keteguhan Hati 05 Bagian Keempat: Kehalusan Budi dan Ketekunan Diri 06 Bagian Kelima: Ketulusan Sikap dan Keluhuran Jiwa

 

***************************************************************************************************************************

   

   

   

   

   

   

 

 

DARMASIKSA DI PAJAJARAN

 

Ini adalah pedoman kehidupan yang luhur. Aksara Guru Tangtu Darmasiksa di Pakuan Pajajaran, yaitu buah pikiran para pengasuh Darma yang budiman. Kata-kata mulia manusia terpilih , yang teguh di dalam tapa, setia menjunjung panji kebenaran. Dengan semangat baktipuja di hati, menuangkan dalam tulisan, pegangan  suci  untuk kemuliaan hidup … Om Awignam Astu! … Semoga selamat, semoga berjaya di dalam darma!

 

Bagi orang yang teguh menjalankan darma yang suci, dan mampu melepaskan diri dari segala ikatan, serta tidak lagi merasa ragu di persimpangan jalan, maka di keheningan batinnya ia memandang Hyang Sukma di dalam dirinya, yang disebut pula Sanghyang Atma, yaitu Sanghyang Hurip yang menggerakkan kehidupan, untuk menyaksikan keindahan perjalanan Sanghyang  Permana atau Sanghyang Kawasa di alam rasa.

 

Setibanya di Gapura Kahyangan tak terhitung jumlahnya apsara dan apsari yang datang menyambut. Ia menyaksikan taman sari kahyangan yang cantik berseri. Ia datang ke mata air yang menyegarkan  jiwanya. Tanpa ragu ia melangkah melintasi kawah neraka Tambra Go(h)muka yang mengerikan, dan meliwati bumi kahyangan yang terhampar indah. Melalui negeri para bidadari yang kecantikannya memikat hati itu ia terus melangkah, hingga akhirnya tiba di Wekasina Sabda Kasunia, yaitu Ujung Sabda Kehampaan, dunia kebahagiaan yang menyenangkan hati. Di sana terlihat olehnya Gunung Kendan, Gunung Medang, dan Gunung Menir, di mana para leluhur bersemayam. Tampak pula di pemandangan matanya kelima istana dewata agung. Di sebelah timur istana Isora, di sebelah utara istana Wisnu, di sebelah barat istana Mahadewa, di sebelah selatan istana Brahma, dan di bagian tengah istana Siwa.

 

Di tengah gemilangnya cahaya, perjalanan diteruskan hingga tiba di alam kelembutan yang sendu, di tempat yang dinamakan Sanghyang Leungis. Di sanalah bersemayam Pwa Nilasita, yang  telah membela keindahan yang gemilang, ketika memilih kematian yang sempurna, dan Sang Mardiyyanaba, yang terbunuh  oleh panah Lasamana, pada puncak kebahagiaannya. Di sanalah pula Sanghyang Sri Dewi Pertiwi berkedudukan. Selanjutnya dalam perjalanan tibalah di Jagad Sari Dewata, tempat persemayaman Wirumananggay yang dimuliakan. Maka di sanalah pula berkediaman Pwa Langkawang Tidar, dan juga Pwa Sekar Dewata, tunangan  Ni Dang Larang Nuwati, yang dahulu telah memilih keperawanan abadi oleh karena tidak terbalasnya cinta. Setelah itu perjalanan diteruskan hingga akhirnya tiba di Jagad Bungawari.  Di sanalah bersemayam Pwa Sanghyang Sri Pohaci, Pwa Naga Nagini, dan Pwa Soma Adi, dewata penguasa bulan yang berkediaman di swargaloka dalam terang  keabadian. Akhir dari perjalanan yang panjang ini adalah ketika sang jiwa maha paripurna tiba di puncak dunia, di gunung pertapaan, di persemayaman Sanghyang Watang Wayang, yaitu kesadaran alam penggerak darma.

 

Di atas segalanya itulah alam keemasan Bumi Kancana, yang bercahaya memancar seperti bintang timur, dan keadaanya terang-benderang bagaikan puncak purnamasidi. Dalam kejernihan dan kemurnian rasa, puncak perjalananpun akhirnya dicapai, ketika jiwa kesadaran akhirnya tiba pada Puhun, atau pokok keluhuran, yaitu tangkal pokok yang menjadi  kawitan atau Asal Mula. Maka mencapai kepada jati yang asli, mendekat kepada anggeus yang akhir, mendatangi alam buhaya, sumber kegaiban ibu-bapa, dan memasuki Sanghyang Jati Niskala, yaitu Kegaiban Yang Sejati. Di sanalah berbakti kepada Batara Seda Niskala, menyatukan rasa menghaturkan puja ke hadapan Sanghyang Tunggal, bersujud dalam penyerahan, dan menyembah keagungan Gusti, Hyang Mahakuwasa.

[Back]

 

Bagian Pertama: Keagungan Tuhan dan Kejadian Alam

 

Setelah segala-sesuatu dijadikan, terdengarlah Sabda Penguasa Alam:

 

Brahma, Wisnu, Siwa, Isora, Mahadewa … Berbaktilah kepada Batara!

Indra, Yama, Baruna, Kowara, Besawarma … Berbaktilah kepada Batara!

Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala … Berbaktilah kepada Batara!

 

Maka para dewata pun berbakti kepada Batara Seda Niskala, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan Yang Maha Gaib. Di dalam keadaan Hyang mereka  menemukan Yang  Hak (Hyang Tuhu) dan Yang Wujud (Hyang Pretyaksa). Dialah Gusti, Hyang Maha Kuwasa, yang disebut Sang Hyang Tunggal, dan yang disebut pula Sang Hyang Widi Wasa. Sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, sumber kesatuan alam semesta dan keutuhan hidup manusia.

 

Kemudian bersabdalah Penguasa Kehidupan mengumandangkan  kelima ucapan raga,  yaitu Pancatatagata … yang gemanya menggaung tanpa mengenal henti, tergelar menghampar dalam kelima tulisan Panca Aksara, yang dapat dilihat, dirasakan, dan disaksikan oleh kelima indera manusia, dan yang menjadi guru tempat bertanya. Kemudian digariskan pula kelima arah kekuasaan dunia atau Panca Dewata, yaitu Purwaning Isora yang berwarna putih, Daksinaning Brahma yang berwarna merah, Pasimaning Mahadewa yang berwarna kuning, Utaraning Wisnu yang berwarna hitam, dan Madyaning Siwa yang berwarna aneka.

 

Maka dalam susunan  ruang (desa), waktu (kala), dan suasana (patra)  bertemulah raga dan rasa untuk menyatu. Terjadilah segalanya melalui himpunan kelima anasir pelindung yang membungkus atau Panca Byapara, yaitu: Tanah (Pertiwi), Air (Apah), Api/Cahaya  (Agni/Teja), Hawa/Angin (Udara/Bayu), dan Angkasa (Akasa). Maka kelimanya  itu dimisalkan sebagai kulit (kulit), darah/ludah (Geutih/Ciduh), mata (Panon), tulang (Tulang), dan kepala (Kapala). Juga digambarkan  sebagai turunnya kelima leluhur, yang disebut Panca Putera, yaitu  Sang Mangukuhan, Sang Katungmaralah, Sang Karungkalah,  Sang Sandanggreba, dan Sang Wretikandayun. Mereka yang diluhurkan karena merupakan titisan kelima pemuja dewata, yang disebut  Panca Kusika, yaitu Sang Kusika di Gunung, Sang Garga di Rumbut, Sang Mesti di Mahameru, Sang Purusa di Madiri, dan Sang Patanjala di Panjul. Maka kelimanya itu pula yang kemudian  diwujudkan sebagai  pemimpin warga (rama), pengasuh darma (resi), penguasa tahta (ratu), pemilik ilmu (disi), dan penambang sampan (tarahan).

 

Sesungguhnyalah bahwa kelima perkara itu ada di dalam diri manusia yang telah diutus Sang Pencipta. Utusan yang mengemban tugas untuk menjadi hidup dan menjadikan kehidupan. Maka di dalam kehidupan itu diketahui adanya sad rasa atau keenam rasa, yaitu asin (lawana), pedas (kaduka),  pahit (tritka), masam (amba), gurih (kasaya), dan manis (madura).  Serta dikenal pula sad guna atau keenam kegunaan karya, yaitu cita-cita (ngangka), untaian (nyigi), mengikat (ngiket), meluruskan, membelah, membagi,  membagi-dua, meratakan, mengetok, mengikir, menyamakan (nyigeung), menggali (ngaruang),  dan  memenggal, memberi  batas  (ngarombong).

 

Demikianlah ajaran para sadu pengajar darma yang budiman, yaitu para guru yang memiliki  kelima tanda atau Panca Wuku Maha Pandita, yaitu:

 

Sandi ma karasa situtur, tapa ma karasa si langlang, lungguh ma karasa si pageuh, pretyaksa ma  karasa si asembawa, kaleupasan ma karasa madumi karasa tan kaduman … manghingeutan tan hingan

 

Rahasia yang terasa dalam bertutur, tapa yang terasa dalam berkelana, duduk yang terasa dalam keteguhan, kepastian yang  terasa dalam kemustahilan, kelepasan yang terasa dalam memberi tanpa diberi  ... mengingat  dengan eling tanpa batas.

 

Maka adalah tugas yang mulia untuk menjunjung tinggi ajaran para leluhur, serta mematuhi darma yang agung, yaitu segala sesuatu yang benar, yang baik, dan yang berguna, sebagaimana telah dijabarkan di mandala guru dan digambarkan di kabuyutan pusaka. Jagalah kehormatan kabuyutan keramat peninggalan orang tua. Jangan dilepaskan dan jangan dibiarkan jatuh. Dengan mematuhi ajaran darma maka terpeliharalah pula di kabuyutan tua sinarnya yang mendatangkan kekuatan, cahayanya yang memancarkan perbawa, dan kemuliaannya yang penuh dengan kewibawaan, pengaruh serta kekuasaan (pretapa). Maka dengan mendirikan, memelihara, dan memugar kabuyutan warisan leluhur itu akanlah diperoleh kelima karunia utama, yaitu kesaktian tapa, keunggulan perang, kejayaan abadi, kebahagiaan hidup, dan kekayaan harta. Berlangsung dari kehidupan kepada kehidupan, dan dari keturunan kepada keturunan berikutnya. Maka datanglah ke mandala diri, dan masuk ke dalam kabuyutan hati. Dengan penuh kerendahan hati meluhurkan  keagungan Tuhan  dan  kejadian  manusia.

[Back]

 

Bagian Kedua: Kebaktian Hidup dan Kebenaran Darma

 

Dasar kehidupan adalah darma, yang menggerakkan berjalannya hukum karma, sedangkan tujuan kehidupan adalah darma, yang menyingkirkan belenggu penderitaan. Maka darmasiksa itulah jalan kemuliaan hidup, di segala waktu dan di segala tempat, bagi siapapun yang ingin mencari kebahagiaan (mamet hayu). Baik bagi dirinya sendiri, maupun  bagi  sesamanya  manusia.

 

Darma itu adalah kebenaran hidup, sedangkan siksa adalah aturan kehidupan yang luhur. Inilah tujuan diuraikannya darma dalam aksara, yaitu naskah yang ditulis pada tahun saka 1440 dengan candrasangkala Nora Catur Sagara Wulan. Di dalam naskah diterangkan bahwa dasar keseluruhan tulisan ini adalah Sahyang dasakreta kundangeun urang reya atau Sepuluh Kesejahteraan Hidup Pegangan Orang Banyak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kesepuluh butir pedoman kehidupan itu adalah … kalangkang dasa sila, maya-maya sanghyang dasa marga, kaprektyasaan sanghyang dasa indriya … bayangan kesepuluh sila, bayangan kesepuluh jalan keluhuran, yang didasari kesepuluh indera. Maka berdasarkan itulah kemudian diajarkan tentang pemeliharaan dan perawatan dasa indriya atau kesepuluh indera, dalam rangka mencegah terjadinya kenistaan hidup, yaitu mata (mata), telinga (ceuli), kulit (kulit), lidah (letah), hidung (irung), mulut (sungut), tangan (leungeun),  kaki (suku), tumbung (paya), dan  kemaluan wanita/kemaluan pria (baga/purusa). Kesepuluh indera inilah jalan yang membawa manusia ke surga atau ke neraka. Apabila semua itu dipelihara dan digunakan secara benar, maka akan mendatangkan keadaan yang disebut Sanghyang Sasana Kreta, yaitu kesejahteraan hidup, keberhasilan usaha, dan kesuburan alam. Seluruh bagian alam kehidupan akan berkembang dan bertumbuh oleh karena karma yang baik di dalam  semangat darma yang luhur. Adapun  kesepuluh  bagian alam itu adalah dunia kehidupan (eka bumi), sawah ladang (dwi sawah), puncak  gunung (tri gunung), samudra lautan (catur segara), pohon tetumbuhan (panca taru), tempat kediaman (sad panggonan), guru resi (sapta pandita), angkasa langit (hasta tawang), dewata agung (nawa dewa), dan penguasa alam  (dasa ratu).

 

Demikian pula tatanan masyarakat akan terpelihara dalam keadaan damai dan sentosa, karena kebajikan para pengamal ajaran darma, dan karena ditegakkannya ke sepuluh ke-bakti-an suci. Sebagaimana diterangkan di dalam pustaka yang dijunjung tinggi:

           

Nihan sinangguh dasa prebakti ngaran(n)a: Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, sisya bakti di guru, hulun bakti di pacandaan, wong tani bakti di wado,wado  bakti di mantri, mantri  bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di  mangkubumi, mangkubumi bakti  di  ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang  

 

Berturut-turut dan secara bersama-sama semua berbakti di dalam darma kepada Tuhan yang menjadi sumber kehidupan alam semesta. Segenap rakyat warga masyarakat hidup berbahagia dalam kesentosaan, karena semua pihak bersikap saling mendukung, saling mengisi, dan saling melengkapi. Satu dengan lainnya saling mengasah (silih asah), saling mengasihi (silih asih), dan saling  mengasuh (silih asuh).

Di dalam kebajikan hidup berdasarkan darma setiap orang menekuni pekerjaannya masing-masing, sebagaimana dicontohkan dalam kedelapan belas jenis tapa di nagara. Demikian pula penyelenggaraan kehidupan masyarakat berjalan dengan baik oleh karena tegaknya ketiga penanggung-jawab negeri (tritangtu di buwana), sebagaimana dikatakan:

 

Jagad daranan di sang rama, jagad  kreta di sang resi, jagad palangka di sang ratu …

Dunia kemakmuran tanggung-jawab sang rama, dunia kesejahteraan tanggung-jawab sang resi, dunia kerajaan tanggung-jawab sang ratu.

 

Karena ketiganya itu sama asal-mulanya (pada pawitanna), dan sama pula kemuliaannya (pada mulianna). Maka ketiganya bekerja-sama demi kesejahteraan semua orang, tanpa memperebutkan kedudukan, pengaruh, penghasilan, dan anugerah. Ketiganya mengusahakan kebajikan yang mulia dengan perbuatan (ulah), dengan ucapan (sabda), dan  iktikad (ambek). Maka meniru keteladanan para pemimpinnya itu setiap orangpun akan berusaha untuk memiliki keluhuran di dalam dirinya. Sebagaimana disebutkan:

 

Sabda pinaka rama, hedap pinaka resi, bayu pinaka ratu …

Ucapan seorang rama, tekad  seorang  resi, wibawa  seorang  ratu.

 

Semua orang berada dalam keadaan berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Dalam kesejajaran dengan yang lainnya, setiap orang menekuni pekerjaannya masing-masing.  Membawa semangat di dalam dada, dan dengan teguh sepenuh hati menjunjung tinggi Sanghyang Darmasiksa.

 

Demikianlah ajaran guru yang budiman tentang hidup bijaksana berdasarkan darma. Bila setiap orang memahami darmanya masing-masing, maka kesejahteraaan hidup(nya) di dunia akan tercapai. Sedangkan kesejahteraan dunia (kertaning jagad) pada umumnya, akan terwujud pula bilamana tuntutan darma terpenuhi dengan sempurna. Adapun keberhasilan dalam darma itu akan membuka kesempatan bagi setiap orang untuk mencapai kesempurnaan jiwanya. Di manapun ia bekerja, dan apapun yang menjadi tugas dan tanggung-jawabnya.

[Back]

 

Bagian Ketiga: Kesadaran Batin dan Keteguhan Hati      

 

Dengan memahami Sabda Batara Hyang Maha Agung, manusia akan menemukan permata di dalam lingkungannya, yaitu sinar cahaya yang menerangi dunia. Di dalam keteguhan  hati menjaga ketertiban hasrat (bayu), ucap (sabda), dan  budi (hedap) di dalam dirinya. Bila belum mampu untuk mencapai keluhuran budi-pekerti, maka sebaiknya menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam jurang kenistaan. Maka bertekadlah untuk menjauhi keempat sikap kepribadian yang keji, yang disebut  catur buta, yaitu:

 

Kepribadian burangkak, yaitu kepribadian yang mengerikan, karena ketus, tak mau menyapa, berbicara dengan marah dan membentak, berbicara sambil matanya membelalak, penuh kekasaran dan cenderung  menghina, buruk sikapnya,  panas  hatinya, dan amat gila, seperti raksasa penghuni tanah yang kotor, yang menakutkan orang lain.

 

Kepribadian marende, yaitu kepribadian yang diduga dingin ternyata panas keadaannya,  karena setelah diberi kesenangan, dipelihara, disayangi, dikasihi, diberi hamba, ternyata akhirnya  menjadi sumber malapetaka.        

 

Kepribadian mariris, yaitu kepribadian yang menjijikkan, karena gemar mencuri,  merampas, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain.

 

Kepribadian wirang,  yaitu kepribadian yang tidak mau jujur, tidak mau benar, tidak mau layak, tidak berterus terang, dan tidak mau berusaha, bahkan sikapnya senantiasa mengancam, membunuh, ketagihan, dan tidak mau jera. 

 

Sebaliknya bawalah diri dengan keempat sikap kepribadian menyenangkan yang disebut catur yogya, yaitu:

 

Kepribadian Emas (Mas), yaitu kepribadian yang terungkap melalui ucapan yang jujur, tepat, dan nyata Panca Aksara nya.

 

Kepribadian Perak (Perak),  yaitu kepribadian yang terungkap melalui keadaan hati yang tenteram, baik, dan bahagia.

 

Kepribadian Permata (Komala), yaitu kepribadian yang terungkap melalui hidup yang  berada dalam keadaan cerah, puas, dan leluasa.

 

Kepribadian  Intan (Hinten), yaitu kepribadian yang terungkap melalui pembawaan diri yang mudah tertawa, murah senyum,dan baik hati.

 

Maka bila terkendali hasrat (bayu), ucap (sabda), dan budi (hedap), sebagaimana diajarkan para budiman, keramah-tamahan, dan sopan-santun menjadi pembawaan diri sehari-hari. Karena memahami sabda sang rama, sang resi, dan sang ratu, maka mengetahui pula tentang hakekat trigeuning, yaitu::

 

Geuing, artinya dapat makan dan minum dalam kesenangan … Upageuing, artinya dapat  bersandang, dan dapat berganti pakaian … Parigeuing, artinya dapat memerintah, dan dapat menyuruh orang lain, karena manis dan ramah tutur katanya.

 

Karena itulah setiap orang harus disapa sesuai dengan usia dan jabatannya. Diperlakukan dengan memperhitungkan kehormatan dan harga dirinya. Maka berkata-katalah dengan menggunakan dasa pasanta, kesepuluh sikap penenang hati, yaitu bijaksana (guna), ramah (rama), sayang (hook), memikat  (pesok), kasih (asih), iba-hati (karunya), membujuk (mupreruk), memuji (ngulas), membesarkan (nyecep), dan mengambil- hati (ngala angeun). Sehingga orang yang disuruh akan merasa senang, gembira, dan cerah hatinya. Demikianlah sikap setiap orang yang memahami kelima tingkat kehidupan yang disebut sarwo janma, yaitu:

 

Kehidupan janma tumuwuh  atau makhluk tumbuh-tumbuhan … Kehidupan janma triyak atau makhluk hewan margasatwa … Kehidupan janma wong atau makhluk manusia yang tidak baik tabiatnya  … Kehidupan janma siwong atau makhluk manusia yang baik tabiat dan keturunannya, akan tetapi belum mengetahui Sanghyang Darma … Kehidupan wastu siwong atau makhluk manusia yang teguh pada pengetahuannya, mengenal Sanghyang Darma, dan mengetahui hakekat Sanghyang Ajnyana,  sehingga  disebut  manusia  yang   berbudi-luhur.

 

Maka sesungguhnya budi-pekerti manusia yang berdiri di atas kebenaran darma itu digambarkan seperti air yang muncul dari kesucian tanah. Manusia yang demikianlah yang berpegang teguh kepada ajaran orang-tua dan leluhur, yaitu Sanghyang Sasana Kreta. Karena itulah warisan yang berasal dari Sanghyang Catur Kreta, yaitu Rahyangta Dewa Raja, Rahyangta Rawung Langit, Rahyangta Medang Jaya, dan Rahyangta Menir Agung. Sebagaimana air yang bening dan jernih, demikianlah keadaan Sanghyang Darma Wisesa. Ajaran yang mendatangkan kesadaran (centana) dan menghilangkan ketidak-sadaran (acentana). Maka pada hakekatnya susah maupun senangnya kehidupan manusia adalah oleh karena ulahnya sendiri. Pada tangannyalah terletak pilihan untuk berdarma membangun kesejahteraan dunia, atau untuk terjerumus hanyut kedalam neraka kehidupan. Hanya dengan mematuhi darma dan memahami karma, manusia dapat mengusahakan kesentosaan dirinya dan kebahagiaan sesamanya manusia.

[Back]

 

Bagian Keempat: Kehalusan Budi dan Ketekunan Diri

 

Dalam rangka mencapai kesempurnaan budi-pekertinya manusia harus berguru dan bertanya kepada yang mengetahui. Sebagaimana diutarakan di dalam pantun:

 

Tadaga carita hangsa, gajendra carita banem, matsyanam carita sagarem, puspanem carita bangbarem  ... Telaga dikisahkan angsa, gajah megisahkan hutan, ikan mengishkan laut, bunga dikisahkan kembang.

Maka telaga itu mengibaratkan pedoman hidup yang menjernihkan pikiran, sedangkan angsa adalah gambaran orang yang telah mengalami dan menekuni ilmu kehidupan. Laut menggambarkan kedalaman hati yang menjadi gelora rasa, sedangkan ikan cara untuk mencapai hakekat pengetahuan. Maka mengenal lautan itu berarti mengetahui keinginan orang banyak. Selanjutnya memahami tentang gajah adalah memahami tentang kekuatan raja, yang mampu untuk mengatasi belantara persoalan dan masalah di negaranya. Akhirnya, bilamana seperti kumbang gemar pergi mengembara dan mengenal peri-laku orang, maka akan memiliki bunga keharuman budi, kebaikan sikap, dan kemanisan tutur-kata. Maka karena harus berbudi seperti air yang bening, berpikiran yang selalu hidup, berbicara dengan penuh isi, dan berperasaan tepat pada tempatnya, maka haruslah tekun berguru. Akan tetapi berhati-hatilah terhadap guru lokika, yaitu guru karena kebiasaan, yang takabur dan senang mengaku-ngaku. Sebaliknya kepada guru pandita, yang pengetahuan, pengalaman, dan perbuatannya telah menyatu, haruslah bersikap hormat terhadap kebijaksanaannya dan menjunjung tinggi kebajikannya. Maka bertanya itu adalah kepada akhli pada bidangnya masing-masing, baik mengenai masalah kesenian, keagamaan, ketamtamaan, ketata-bogaan, kelautan, pemerintahan, pertanahan, dan  bahasa.

 

Pada naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian diberikan kedua belas contoh kehidupan yang dapat dipelajari di Negeri Pajajaran. Akan tetapi di dalam hal ini berguru melalui pengalaman hidup juga harus di usahakan, karena berguru itu adalah dalam rangka meniru yang baik dan menjauhi yang buruk. Maka temukanlah para guru kehidupan ini :

 

Bergurulah kepada akibat buruk yang disebabkan oleh pelanggaran (Guru Nista) … kepada petunjuk juru pantun atau juru memen dalam pertunjukan wayang (Guru   Panggung) … kepada pengetahuan yang tertulis di dalam kitab (Guru Tangtu) … kepada pengertian yang terdapat pada hasil karya seni  (Guru Wreti) … kepada anak (Guru  Rare) … kepada kakek (Guru Kaki) … kepada kakak (Guru Kakang) … kepada toa (Guru Uwa) … kepada pengalaman dari dan tempat bepergian (Guru Hawan ) … kepada ibu dan bapak (Guru Kamulan) … kepada Maha Pandita, yaitu Catur Utama (Guru Utama, Guru Premana, Guru Kaupadesaan, Guru Mulya) … dan kepada alam semesta (Guru Bumi).

 

Adapun himpunan pelajaran yang diperoleh itu disebut agama, yang merupakan darma di dalam patikrama, yaitu adat-kebiasaan, tata-tertib, sopan-santun, peraturan, undang-undang, dan hukum. Maka inilah ajaran kebudayaan yang luhur, yaitu agama darma patikrama, yang  memberikan pedoman kehidupan  orang  berbajik:

 

Supaya memperoleh keselamatan dalam hidup dan berkah dalam rumah-tangga sikap hidup harus cermat (emet), teliti (imeut), rajin (rajeun),tekun (leukeun), sarat keutamaan (paka-pradana), bersemangat (morogol-rogol), berkepribadian pahlawan (purusaningsa), bijaksana (widagda), berani berkurban (hapitan), dermawan (karawaleya), gesit (cangcingan), dan cekatan (langsitan). Demikianlah petunjuk Siksakanda, supaya hidupnya berkecukupan, tidak berlebihan, dan tidak menyusahkan orang lain. Selanjutnya ditambahkan pula oleh yang memberi amanat di gunung yang agung, yaitu Kabuyutan Lingga Wangi di Galunggung, bahwa keberhasilan di dalam bertapa adalah karena keberhasilan di dalam berbuat. Karena menurut ajaran Sewaka Darma, bertapa itu haruslah wajar seperti jalannya alam, tidak terlalu berlebihan dalam meneliti persoalan, supaya tidak menimbulkan keadaan yang penuh kepenasaran. Tidak pula terlalu banyak dipikirkan sehingga menimbulkan khayalan yang mengambangkan perasaan dan menciptakan kebingungan diri. Bertapa yang baik itu adalah memohon dengan harapan dan melangkah dengan teguh. Bersama-sama mengusahakan kemuliaan melalui perbuatan (ulah), ucapan (sabda), dan iktikad (ambek). Menurut amanat dari Galunggung, kehidupan itu harus dijalani dengan bijaksana ( niti ),  berdasarkan kebenaran (nityagata), bersifat hakiki (aum), sungguh-sungguh (heueuh), yang memikat hati (karungrungan), suka mengalah (ngalap kaswar), murah senyum (semu guyung), berseri-hati (tejah ambek), dan mantap bicara (guru basa).  Janganlah berkata dengan berteriak (mulah majar kwanta), jangan berbicara menyindir (mulah majar laksana), jangan berbicara  menjelekkan sesama (mulah madahkeun pada janma), dan jangan berbicara mengada-ada (mulah sabda ngapus), sehingga akan sempurnalah agama, karena kasih-sayang yang tertuju kepada sesama. Sedangkan perkara yang menjadikan diri kaya dan berhasil dalam tapa, adalah segala perbuatan yang dilakukan dengan tulus, bukan dengan mengharapkan pujian, akan tetapi oleh karena ajaran darma semata-mata. Maka yang akan berhasil dalam kehidupannya adalah orang yang cekatan (cangcingan), terampil (langsitan), tulus-hati (paka), rajin tekun (rajeun leukeun), tawakal (niwa surahan), tangkas (prenya), bersemangat (paka marwagal-rwagal),  perwira (purusa), cermat (emet), teliti (imeut), rajin (rajeun), tekun (leukeun), penuh  keutamaan (paka pradana), cerdas (prijnya), dan berkemampuan (bisa). Oleh karena itu usahakanlah kejujuran dan kebenaran di hati.  Jangan menjadi orang yang  pemalas (mumulan), keras kepala (ngeudeuhan), pandir (banteuleu), pemenung (dungkuk), pemalu (peruk), mudah tersinggung (supenan), lamban (jangkelek),  kurang semangat (raheke), gemar tiduran (memelehe), lengah  (brahele), tidak tertib (seler twaler), mudah lupa (hanti waler), tak  punya keberanian (tan bria), kecewa (kuciwa), luar biasa (rwahaka), berlagak jago (jangjaka), berlagak juara (juhara), tak berkepandaian (heunteu kabisa), selalu mengeluh (luhya mulmulan), malas (mo teungteuing), tidak bersungguh-sungguh (manggahang), pembantah (barang hual), penempelak (nica), selalu berdusta (mreswala), bersungut-sungut (kumutuk), menggerutu (pregutu), mudah bosan (surahana), segan mengalah (sewekeng), mengejar dengan memaksakan diri (pwapwarose), mudah terpengaruh (tereh kasimwatan), mudah percaya omongan orang (tereh kapidenge),  tidak teguh memegang amanat (mwa teteg dicarek wahidan), sulit (sulit), rumit (rusit), aib (rawaga), dan nista (papa). Sebaliknya hendaklah ditiru sikap hidup orang  yang mandiri, yaitu orang yang tidak meminta belas-kasihan karena malas, dan tidak pula merasa kesal ketika tidak diberi, orang yang tidak mau menyusahkan orang lain, dengan menyalah-gunakan kebaikannya. Orang yang menginginkan secukupnya, sehingga tidak mencari yang berlebih-lebihan. Orang yang demikian itu berguru di masa kini dengan belajar kepada masa lalu, supaya dapat meniru yang berbajik dan meninggalkan yang tercela. Sehingga tidak merasa percuma walaupun hanya sekali diutus ke dunia untuk berdarma. Karena memiliki ilmu padi, maka semakin berisi semakin runduk pula pembawaan dirinya. Kehendaknya bukanlah untuk mengembangkan keinginan yang membuat diri tidak menentu, akan tetapi untuk berkarya di dalam darma dan berdarma di dalam karya.

[Back]

  

Bagian Kelima: Ketulusan Sikap dan Keluhuran Jiwa

 

Maka bertekunlah memperhatikan ajaran Agama Darma Patikrama sebagai pedoman kehidupan yang benar. Berbaktilah kepada keluhuran yang dijunjung tinggi dan ikutilah nasihat para pendahulu, yaitu ibu (indung), bapak (bapa), kakek (aki), dan leluhur (buyut). Janganlah bersikap keras-kepala dan berkeras tidak mengindahkan aturan dari leluhur, yaitu semua pantangan untuk pengendalian diri. Janganlah bingung dalam menghadapi musuh, baik yang kasar maupun yang halus. Karena barang siapa mengindahkan patikrama ia akan unggul dalam perang dan lama berjaya dalam usahanya. Bila kesempurnaan agama dipelihara, sebagai ajaran pegangan hidup dari para leluhur, maka keadaan dunia akan menjadi aman dan tenteram.

 

Rama yang menghimpun, Resi yang mengajar, Ratu yang memerintah, Disi yang merancang, dan Tarahan yang menghubungkan akan menjalankan darma dengan sempurna. Karena mengetahui tentang patikrama, maka mengetahui juga jalan kesentosaan diri. Dengan mengikuti ajaran leluhur maka unggul perangnya, lama berjayanya, dan tumbuh tanamannya. Oleh sebab itu tegakkanlah patikrama di dalam pekerjaan dan kehidupan semua orang.

 

Janganlah bertengkar memperebutkan yang tepat, benar, jujur, dan lurus-hati. Hindarkanlah benturan oleh karena berselisih  maksud, yaitu oleh karena saling berkeras pada keinginan diri masing-masing. Akan tetapi hendaklah setiap orang berusaha untuk mengikuti pendapat yang lainnya. Peliharalah kerukunan  dan kesatuan di dalam hidup bersama. Sehingga akan terciptalah ketenteraman yang meneduhkan, seperti air yang turun dari Gunung Kahiangan, yang ada di telaga bening, dan yang ditemukan di tanah  pusara, yaitu tempat orang berteduh dari kepanasan  di tengah hari. Jagalah berdirinya Kabuyutan, baik di masa damai maupun ketika musuh menyerang. Karena jatuhnya kabuyutan berarti hilangnya kehormatan negara. Peliharalah kesucian karang karuhun, sebagai tanah pusaka dari leluhur, dan patuhilah petunjukpatikrama: 

 

Janganlah membunuh yang tidak berdosa dan memarahi serta merampas milik yang tidak bersalah ... Janganlah menyakiti orang yang benar dan jangan pula bersikap saling mencurigai serta saling menyesali ... Janganlah menikah dengan saudara sedarah dan berhati-hatilah dalam memilih jodoh ... Janganlah menjodohkan anak dalam usia muda, supaya  tidak menimbulkan kesedihan  dan  kesusahan di kemudian hari ... Janganlah menghampiri yang bukan merupakan jodohnya, yaitu istri yang telah dinikahi orang, gadis yang telah diikat dalam pertunangan, dan wanita yang telah ditebus untuk dijadikan hamba ... Janganlah membiarkan pria dan wanita mandi bersama, supaya tidak terjadi pelanggaran susila di tempat air mengalir ... Janganlah mewariskan harta yang tidak akan membawa kebahagiaan, yaitu harta yang diperoleh dengan cara yang salah, seperti misalnya harta perjudian, harta curian, harta rampasan, dan harta titipan.

 

Janganlah para pemimpin saling memperebutkan kedudukan, penghasilan, dan kemuliaan, akan tetapi usahakanlah kebaikan dan kebahagiaan bagi sesama, karena pekerjaan itu adalah jalan untuk menjadi orang berbudi, sedangkan tingkah laku itu adalah tangga kemuliaan. Bila dalam bertugas sikapnya segan, hati - hati, hormat, dan sopan, maka akan dapat dukungan semua pihak. Maka peliharalah kesetiaan yang tulus dan janganlah berkhianat serta berbuat culas ... Janganlah pula menipu kepada diri-sendiri dengan membolak-balik antara yang benar dan yang tidak benar, serta memburukkan orang lain dan menjalankan tipu muslihat yang licik ... Di dalam mengemban amanat, janganlah suka mengeluh, merasa kecewa, dengki terhadap sesama petugas, dan dipenuhi dengan sikap iri hati. Karena itu semua akan membuat diri sendiri susah hati, murung  berkepanjangan, dan kehilangan tenaga ... Di dalam bertugas janganlah mengambil milik orang lain, tanpa memberi tahu dan tanpa diberi ijin ... Janganlah pula menyusahkan orang lain dan bertindak merugikan dengan jalan menyalah-gunakan kebaikannya.

 

Janganlah bersikap sembarangan dengan berpakaian yang tidak pantas dan membuang kotoran di tempat yang tidak seharusnya ... Janganlah bersikap tidak santun terhadap orang-orang terhormat, para gadis, kaum ibu, dan kumpulan orang suci ... Janganlah bersikap menunjukkan ketidak-sukaan dalam menyambut utusan negara ... Janganlah  melaksanakan tugas dengan rasa  marah, hati-resah, uring-uringan, dan sikap penuh kepura-puraan.

 

Selanjutnya dalam menjalankan perintah peliharalah kewaspadaan terhadap keempat godaan (catur yatna), yaitu tergoda oleh makan dan minum (siwok cante), mengikuti orang yang mencuri (simur cante), memperdagangkan barang orang lain tanpa  disuruh  yang empunya (simar cante), dan berpihak kepada kelompok lawan dan musuh (darma cante).

 

Akhirnya, setelah menjalankan pekerjaan periksalah kembali, mana yang baik dan mana yang buruk. Bersiaplah pula untuk menerima teguran, karena lebih baik untuk menerima celaan, daripada menerima  pujian. Adapun teguran dan celaan itulah yang sesungguhnya merupakan kelima obat penawar (Panca Parisuda), yaitu ibarat sedang dekil menemukan air untuk mandi, ibarat sedang burik ada yang meminyaki, ibarat sedang lapar ada yang memberi nasi, ibarat sedang haus ada yang memberi minum, dan ibarat sedang kesal ada yang mengantarkan sirih.

 

Demikianlah nasihat para leluhur, camkanlah patikrama agar unggul dan berjaya. Karena pada hakekatnya manusia mempunyai empat keinginan (catur hayun), yaitu ingin sempurna tidak terkena  kenistaan (yun suda), ingin senang tidak terkena kesusahan (yun suka), ingin naik tidak terkena halangan (yun munggah), dan ingin lepas tidak terkena kemalangan (yun luput).

Maka marilah meniru perjalanan Patanjala, karena pata berarti air dan jala adalah sungai. Demikianlah gerakan air yang mengalir tetap pada alur yang dilaluinya, dan berjalan melintasi bumi yang rupawan. Karena merasa senang akan keindahan yang sejati, maka janganlah terpengaruh oleh ucapan yang buruk, yang akan menggagalkan kebajikan darma, melainkan pusatkanlah perhatian kepada keinginan diri sendiri, yaitu segala sesuatu yang indah, yang  baik, dan yang sempurna. (Jayakarta, 27 Februari 1996)

 

Sumber  Pustaka: 

Naskah Kropak 408: Sewaka Darma

Naskah Kropak 630: Sanghyang Siksakanda ng Karesian  

Naskah Kropak 632: Amanat  Galunggung 

[Back]

 

 

[Ben Poetica] - [Karya Carita]

 


 

 Copyright©soneta.org 2004  
 For problems or questions regarding this web contact
[admin@soneta.org] 
Last updated: 04/06/2015