054 Sapardi Djoko Damono ( 1940 )
01 Sonet: Entah Sejak Kapan 02 Sonet: Kau Bertanya Apa 03 Aku Tengah Menantimu 04 Sonet: Hei! Jangan Kau Patahkan 05 Sonnet: X 06 Sonet: Y ***************************************************************************************************************************
01 Sonet: Entah Sejak KapanEntah sejak kapan kita suka gugup Di antara frasa-frasa pongah Di kain rentang yang berlubang-lubang Sepanjang jalan raya itu; kita berhimpitan Di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak Di kain rentang yang ditiup angin, Yang diikat di antara batang pohon Dan tiang listrik itu; kita tergencet di sela-sela Huruf-huruf kaku yang tindih-menindih Di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan Yang tanpa lampu lalu-lintas itu. Telah sejak lama Rupanya kita suka membayangkan diri kita Menjelma kain rentang koyak-moyak itu, sebisanya Bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin
02 Sonet: Kau Bertanya ApaKau bertanya apa masih ada harapan. Mungkin masih, Di luar kata. Di dalam kata terdengar tak putus-putusnya Suara orang berkhotbah, berceramah, dan berselisih. Sementara kita mengemis, mencuri, berebut jatah Menjarah, atau menjadi gila; sementara kita menyaksikan Rumah-rumah terbakar, jaringan telepon putus, Pohon-pohon tumbang - di dalam kata masih saja Setiap aksara dipertanyakan asal-usulnya, setiap desis Diusut keterlibatan maknanya. Konon, dulu, Di dalam kata pernah terdengar desau gerimis kecil, Cericit anak-anak burung, suit daun jatuh, Dan langkah kabut pagi. Konon, dulu, pernah terdengar kita Saling berbisik. Kau bertanya apa masih ada harapan. Untuk Wing Kardjo Ada yang menunggu kita di luar kata, mudah-mudahan.
Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas Di pucuk kemarau yang mulai gundul itu Berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu Yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas Awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu Musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku Kudengar berulang suara gelombang udara memecah Nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah Telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak Sepi Di tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun Menanti Barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana Dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama
04 Sonet: Hei! Jangan Kau PatahkanHei! Jangan kau patahkan kuntum bunga itu Ia sedang mengembang; bergoyang dahan-dahannya yang tua Yang telah mengenal baik, kau tahu, Segala perubahan cuaca. Bayangkan: Akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar Hujanpun turun setiap bumi hampir hangus terbakar Dan mekarlah bunga itu pelahan-lahan Dengan gaib, dari rahim Alam. Jangan; saksikan saja dengan teliti Bagaimana Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam Membunuhnya dengan hati-hati sekali Dalam Kasih sayang, dalam rindu dendam Alam; Lihat: Iapun terkulai pelahan-lahan Dengan indah sekali, tanpa satu keluhan
05 Sonnet: XSiapa menggores di langit biru Siapa meretas di awan lalu Siapa mengkristal di kabut biru Siapa mengertap di bunga layu Siapa cerna di warna ungu Siapa bernafas di detak waktu Siapa berkelebat setiap kubuka pintu Siapa mencair di bawah pandangku Siapa terucap di celah kata-kataku Siapa mengaduh di bayang-bayang sepiku Siapa tiba menjemput berburu Siapa tiba-tiba menyibak cadarku Siapa meledak dalam diriku : Siapa aku
06 Sonet: YWalau kita sering bertemu Di antara orang-orang melawat ke kubur itu Di sela-sela suara biru Bencah-bencah kelabu dan ungu Walau kau sering kukenang Di antara kata-kata yang lama t’lah hilang Terkunci dalam bayang-bayang Dendam remang Walau aku sering kau sapa Di setiap simpang cuaca Hijau menjelma merah cuaca Di pusing jantra Ku tak tahu kenapa merindu Tergagap gugup di ruang tunggu
[Soneta Nusantara] - [Nusantara Sonnets]
|
Copyright©soneta.org 2004
|