

122 D Zawawi Imron 
 
01 Losari Tengah Malam  02 Hutan  03 Sarang  04 Kafilah Nurani I  
05 Percakapan di  Satu Desa  06 Ziarah  07 Padang Hijau  
08 Dari Kandang ke Ladang  09 Teluk  10 Menyandarkan Diri ke Pilar  
11 Sebuah Istana  12 Hanya Seutas Pamor Badik
***************************************************************************************************************************
   
   
   
   
01 Losari Tengah Malam
Malam begini dingin pun diantar kecipak selat
Langit yang putih oleh keramahan
Masih juga dipertahankan bulan
Untuk menangkap kata-kata
Yang berkecimpung bersama ikan-ikan
Zaman memang telah bertukar
Yang dulu peluru        
Sekarang pisang panggang, O, sejarah!
Kubiarkan diriku hanyut
Ke laut lain tempat bintang-bintang berlayar
Kami ingin bercakap sampai parau
Bukan karena risau
Pada sang waktu yang bagaikan lautan tenang                 Dengan
Kami harus menyalakan gelombang                    Putera-puteri Arsal 
                                         [Back]
 
 
 
02 Hutan
Lagumu gemuruh
Menampilkan berpuluh elang berpuluh banteng
Di hutan-hutan sangsiku
Angin yang runtuh dari pohon-pohon
Menjelma permadani di lembah timur
Kuhitung tahun-tahun
Yang berjalan menghancurkan mega dan mega
Dan hujan yang menyerbu dari perut gua
Mengekalkan diamku di ketiak batu
Gemuruh itu ternyata miliku juga
Mengurai bulu-bulu mataku di pelupuk rimba
Dalam begini engkau sebagai seorang pertapa
Tempat sembunyi burung dan kupu-kupu
Tombak pun jadi tersenyum di dalam batu 
                                                       [Back]
 
03 Sarang
Cahaya senja yang merah
Sampai juga ke dalam kamar
Menjagakan kelewang yang tidur
Dari mesjid terdengar zikirmu
Maka perang pun mulai
Bayang-bayang yang kabur pada dinding
Melarikan berita ke ombak gasing 
Aku hanyalah kegelapan
Yang mendesah ke hutan-hutan
Oleh bercak-bercak darah
Dalam sarang
Yang kau buat dari kabut
Kelewang itu diam
Menikmati madu di hati danau
                                    [Back]
 
 
04 Kafilah Nurani I
Sesal dan lelah
Memang milik manusia
Menang dan kalah
Kita terima dengan senyum yang lega
Derap yang mengalir di dasar sungai purba
Sebut saja airmata arwah
Meminum jangan setetes
Sebab dahaga bisa juga menggelapkan mata
Tenggaklah sepuas-puasnya
Sampai senyummu mawar
Dan matamu sinar yang pijar
Saat langit dan bumi bersatu dalam Sabda
Tibalah saatnya 
Kau hunus badik cahaya dari sarung sejarah
         [Back]
 
05 Percakapan di Satu Desa
Nanti malam, apa jadi engkau ke rumah?
Isteriku membuat dodol biji mangga
Kita makan di halaman
Berdua kita pecaahkan
Besok lusa, tolonglah aku menyabit lalang
Buat pengganti atap gubukku
Ajaklah Sidun, aku senang padanya
Lantaran ketawanya yang menggelegar
Dapat mengganjal jiwaku yang sedang lapar
Nanti malam, apa jadi engkau ke rumah?
Di bawah bulan yang mulai sembuh dari gerhana
Sambil menunggu gerhana bulan
Bagaimana bisa kutebus
Sawah ladangku yang masih tergadai
                                              [Back]
 
 
06 Ziarah
Ah debu namanya
Yang menyayikan daunan gugur
Gelisah ranting-ranting terasa
Pada siang di pekuburan 
Dan gadis-gadis datang
Menjelma selendang ungu
Sementara di perbukitan
Menderu burung derkuku
Ah, debu juga namanya
Yang mengabarkan Ziarah itu
Siang jadi berarti
Dalam busukan kembang-kembang
  Badik yang tidur akan bangun               Terkenang
                                           Hanya menunggu Sangkakala                 Sultan Hasanudin
   [Back]
 
07 Padang Hijau
Sejuk pun singgah
Memeluk nisan demi nisan
Gerimis sore memetik kecapi
Maka tebaklah dalam lautan!
Perahu-perahu tetap terkapar di pantai
Diamku membuat air laut tersibak
Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang! 
Bersama Musa dan mereka yang beriman
Mencari sarang angin
Aku serasa terlambat tiba di padang
Di gigir langit, selendang-selendang merah
Berhinggapan di pundak bukit-bukit sejarah
Padang hijau berpusar telaga
Letaknya di jantung Bunda
   [Back]
 
 
08 Dari Kandang ke Ladang
Sekitar kandang itu mekarlah kesegaran
Harapan di ujung jangkauan
Menyiduk-nyiduk gelagat danau
( Anak-anak lapar menjilat langit biru
Membatalkan sujudku semalam penuh
Siang itu cuaca tersiram susu
Mesjidku jadi megah
Tegak di delta sungai jiwaku
Di sini ‘kan kuucapkan sejuta bisik
Buat mengetuk semesta pintu )
Dari kandang itu ke ladang
Berguna sebuah titian
Di bawahnya jurang maha dalam     
Tempat mencuci perasaan                             Buat Anang Rahman 
                                       [Back]
 
Kaubakar gema di jantung waktu
Bibir pantai yang letih nyanyi
Sembuh oleh laut yang berloncatan
Memburu takdirmu yang menderu
Dan teluk ini
Yang tak berpenghuni kecuali gundah dan lampu
Memberangkatkan dahaga berlayar
Berkendara seribu pencalang
Ke arah airmata menjelma harimau
Pohon-pohon nyiur pun yakin
Janjimu akan tersemai
Dan di barat piramid jiwa
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja
Senyum pun kekal dalamnya
                                           [Back]
 
 
10 Menyandarkan Diri Ke Pilar 
Menyandarkan diri ke pilar
Langit pun menggelegar
Aku tak paham, menggapa layang-layang yang sobek itu
Masih kuasa menjatuhkan bintang
Titik dimana aku harus berdiri
Ternyata pusat semesta
Bahkan tangga ke sorga akan tegak di tempat ini
Memang aku terlambat tahu
Hingga jasad terasa hanyalah kelopak duka
Tapi aku masih punya sisa gerak
Meski bergerak mungkin bernilai dosa
Nyawa pun terasa kental tiba-tiba
Sesaat heningmu yang kencana
Merangaskan waswas yang lebat bunga
                                                    [Back]
 
11 Sebuah Istana
Tepi jalan antara sorga dan neraka
Kumasuki sebuah istana
Tempat sejarah diperam
Menjadi darah dan gelombang
Lewat jendela sebelah kiri
Kulihat matahari menjulurkan lidah
Seperti anjing lapar
Aku makin tak’ ngerti
Mengapa orang-orang memukul-mukul perutnya
Jauh di batas gaib dan nyata
Kabut harimau menyembah cahaya
Kutarik napas dalam-dalam
Dan kupejamkan mata
Alangkah kecil dunia!
                             [Back]
 
 
12 Hanya Seutas Pamor Badik
Dalam tubuhku kau nyalakan dahaga hijau
Darah terbakar nyaris ke nyawa
Kucari hutan
Sambil berdayung di hati malam
Bintang-bintang mengantuk
Menunggu giliran matahari
Ketika kau tegak merintis pagi
Selaku musafir kucoba mengerti:
   Ternyata aku bukan pengembara
Kata-kata dan peristiwa
Telah lebur pada makna
Dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi
Tak kunjung selesai dilayari
                                                                          [Back]
 
 
[Soneta Nusantara] - [Nusantara Sonnets]