11 Sarasilah dan Babad Caringin 

***************************************************************************************************************************

   

   

   

   

   

   

 

 

Dengan rakhmat Tuhan Yang Maha Esa dan

Atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang

Semoga para leluhur memperoleh keselamatan dan anugerah

dan semoga kami pantas untuk mengemban segala warisannya

 

Sarasilah Caringin

Ini adalah trah dan sarasilah para leluhur di kawasan Caringin

yang sejarahnya telah mewarnai corak kehidupan di tempat ini

dan kehadirannya dirasakan melalui pengucapan nama penuh hormat

serta diketahui melalui segala petilasan peninggalan mereka

Berbagai tokoh dan nama keturunan telah hadir di Caringin

baik ulama maupun prajurit, orang saleh maupun jawara

dari trah Kalijaga dan Ngampel Denta, juga dari darah agung Siliwangi

dan tidak ketinggalan pula para pahlawan perkasa dari Mataram

disertai dengan banyak para tokoh dari wetan lainnya

Mereka semua telah meninggalkan jejaknya di Bumi Caringin

yaitu jejak dan tapak yang pantas dipelihara dan diikuti

Demikianlah kini akan diuraikan secara rapi berurutan

para nenek moyang yang dahulu telah membuat sejarah di kecamatan ini

 

Dari trah Kalijaga datanglah Eyang Sapujagad, yaitu Kyai Langlangbuwana

yang menikah dengan Setiyadiningsih atau Hadityaningsih

yaitu putri yang di petilasan Cileungsi disebut Kembang Cempaka Putih

dan pada petilasan Babakan diberi gelar Dewi Kembang Kuning

maka kedua suami istri inilah yang telah menurunkan Kyai Elang Bangalan

yang telah datang dan seterusnya menetap di daerah Lemah Duhur

 

Kemudian daripada itu Elang Bangalanpun menurunkan empat orang anak

yang tertua adalah Arya Sancang di Garut-Pameungpeuk

diikuti oleh Eyang Badigul Jaya Pancawati, Ayah Ursi Pancawati dan Eyang Ragil Pancawati

maka ketiga anak yang lebih muda itu turut menjadi cikal bakal Caringin

serta meninggalkan kenangan di Pasir Karamat yang diluhurkan

 

Anak tertua Eyang Badigul Jaya adalah Ayah Iming, yaitu Kyai Haji Sulaiman

yang makamnya masih dapat ditemukan di Kebun Tajur

Anak yang kedua dinamakan Umaenah,

yaitu istri Eyang Ranggawulung atau Rangga Agung

maka suaminya itulah yang menjadi leluhur di Cimande-Tarik Kolot

Anak yang ketiga dinamakan Romiah yang dinikahi oleh Eyang Buyut Umang,

yaitu sebagaimana ia disebut di Caringin,  karena di Cinagara ia disebut Aki Degle

adapun Eyang Buyut Umang itu adalah putra Ki Kastiwa, cucu Ki Kaswita,

cicit Suwita, dan turunan pahlawan Jaka Sembung,

yaitu suami Roijah gelar Bajing Ireng

sedangkan Eyang Buyut Umang sendiri juga telah menurunkan dua orang anak,

yaitu Aki Eming yang dipusarakan di makam Gede di Tonggoh

dan Aki yang dipusarakan di Cipopokol Hilir, Pasir Muncang

Selanjutnya, anak keempat Badigul Jaya adalah Samsiah,

yang menikah dengan Aki Kartijan

dan anak kelima adalah Amsiah yang menikah dengan Bayureksa

yang disebut juga Reksabuwana, yaitu putra Radyaksa,

cucu Jayadiningrat dari Mataram

ialah pahlawan perkasa yang petilasannya terdapat di Tanjakan Ciherang

maka Bayureksa dan Amsiah menurunkan Ki Ranggagading dan Ki Kumpi

yang kedua-duanya dimakamkan di kawasan Cigintung-Caringin

Akhirnya, anak kelima Aki Badigul Jaya adalah ibu Esah,

yang menikah dengan Aki Bangala

yaitu putra Aki Jepra atau Ki Kartaran, dan cucu Aki Kahir,

tokoh dunia persilatan

 

Selanjutnya, dari trah Raden Rakhmatullah Sunan Ngampel Denta diturunkanlah Ki

Karmagada yang menurunkan Ki Karmajaya,

yaitu ayahanda Ki Kartawirya

yang berasal dari Jampang-Surade dan telah datang ke Lemah Duhur,

untuk menetap di Legok Antrem

adapun Ki Kartawirya itu disebut pula Haji Akbar

ia menurunkan Marunda dan Marunda menurunkan Murtani

dan seterusnya Murtani menurunkan Pitung, jago silat dari Rawa Belong

 

Diriwayatkan pula bahwa Ki Kartawirya memiliki istri bernama Nyi Antrem

yang namanya telah diabadikan dalam nama Legok Antrem sasaka kami

Maka Nyi Antrem itu pun berasal dari satu keturunan dengan suaminya

sebab leluhurnya, yaitu Sekh Japarudin, juga berasal dari trah Ngampel Denta

Sekh Japarudin menurunkan Ki Kartaji dan Ki Kartaji menurunkan Aji Tapak Ireng

selanjutnya Aji Tapak Ireng menurunkan lima orang anak

Pertama adalah Aji Wisa Ireng yang juga disebut Haji Aleman

Kedua Aji Wisa Kuning, ketiga mbah Ambani, keempat Ki Anom

dan kelima ibu Ucu yang diperistri oleh Ayah Haji Abdul Somad,

leluhur di Cimande-Tarik Kolot

Keluarga dan turunan inilah yang menjadi asal-usul masyarakat di Curuk Dengdeng

maka dari Aji Wisa Irenglah ibu Antrem diturunkan ke dunia

yaitu ibu Antrem yang telah dipusarakan di kawasan Legok Antrem

 

Adapun Ki Karmagada juga menurunkan anak lelaki adik Ki Karmajaya

yang kemudian menurunkan Ki Jaka Kadir, yaitu tokoh yang dipusarakan di Leuweung Ki Maun, yang

terletak di atas Legok Antrem

        Seterusnya Ki Jaka Kadir menurunkan Ki Jaka Bledek, leluhur kampung Bendungan diKampung Tajur

Demikianlah itu tentang para leluhur dan pendahulu

yaitu mereka semua yang berasal dari trah Ngampel Denta.

 

 

Seterusnya sebagaimana diriwayatkan oleh mereka yang mengerti sejarah

mengalir pula darah leluhur Siliwangi pada diri para leluhur di Caringin

mewarnai jalan kehidupan masyarakat dan memancarkan kesejatian rasa

membangkitkan kesucian sikap dan menaikkan kebajikan laku

Maka inilah keluarga para jawara yang menghubungkan Siliwangi dan Caringin

menghubungkan masa lalu dan masa kini serta mengarahkan masa depan

 

Sang Ratu Jaya Dewata Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Ratu Subangkarancang

dan menurunkan tiga orang anak, yaitu dua orang lelaki dan seorang wanita

anak yang tertua adalah Pangeran Arya Santang, Panembahan Cakrabuwana

anak yang kedua adalah Nyi Rara Santang ibunda Syarif Hidayatulah

dan anak yang ketiga adalah Kian Santang atau Prabu Sagara

atau Sunan Rakhmat Suci di gunung Godog

yang disebut Sekh Kuncung Putih di Cibadak-Pangasahan

maka ia itulah leluhur seorang tokoh bernama Elang Sutawinata

[Back]

 

Adapun Elang Sutawinata yang disebut di atas menurunkan tujuh orang anak

pertama adalah Jaka Sembung yang menikah dengan Roijah gelar Bajing Ireng

kedua adalah Jaya Perkosa yang menjadi patih Prabu Geusan Ulun di Sumedang Larang

        seorang istrinya bernama Mulantri dan salah seorang anaknya pernah hadir di Caringin

yaitu yang disebut Aki Palasara, disebut Aki Kabayan, disebut Ki Jambrong

        yang memiliki petilasan di Kebon Tajur, di atas Legok Antrem, lalu di Legok Jambrong

        dan juga memiliki petilasan di Legok Batang, di kawasan Citaman, di desa Tangkil

Selanjutnya anak ketiga Elang Sutawinata adalah Aki Kahir

yang nama-nama dan petilasan-petilasannya akan diuraikan di bawah

anak keempat adalah Eyang Ranggawulung leluhur di Tarik Kolot

anak kelima Aki Dato di Bantar Jati dan Pondok Pinang

anak keenam Sekh Sake di petilasan di Citeureup

dan anak ketujuh Pangeran Papag yang menikah dengan Sari(w)uni, putri Ki Hambali

 

Sembilan nama dan sembilan petilasan dimiliki anak ketiga Elang Sutawinata

Aki Kahir di Bogor-Tanah Sareal, Sekh Majagung di Cirebon

Pangeran Jayasakti di Batu Tulis, Gentar Bumi di Pelabuhan Ratu

        Aki Euneur di Pangasahan, Cikidang, Cipetir

        dan Eyang Kartasinga-Wirasinga di Tarik Kolot

Aki Dalem Macan di Citeureup, Eyang Pasareyan di Cidahu, Cibening, Ciampea

dan yang kesembilan dan terakhir adalah Ki Jambrong di Cirebon

 

Maka Aki Kahir menurunkan anak lelaki bernama Ki Kartaran

yang berganti sebutan menjadi Ki Jepra sekembalinya dari pertempuran

di Tegal Jepara

ia dipusarakan pada dua petilasan di dua tempat

sebuah di Kebun Raya Bogor dan sebuah lagi berupa makam putih

di Cimande Hilir

Ia menurunkan empat orang anak, seorang lelaki dan tiga orang wanita

yang tertua adalah Aki Bangala yang menikah dengan uwak Esah

yang kedua dalah Nini Sarinem di Ciherang-Limus Nunggal

disebut Sri Asih di Cirebon dan Nini Sarem di Cileungsi

suaminya adalah Kyai Ajiwijaya dari Plered-Purwakarta

yang ketiga adalah Nini Sayem di Ciherang-Limus Nunggal

yang menikah dengan Ki Puspa dari Cirebon

yaitu tokoh yang dihubungkan dengan Kuda Puspagati dari petilasan Pasir Kuda di Lemah Duhur

dan yang keempat adalah Nini Sarimpen di Garut

yaitu istri Banaspati, seorang panglima Panembahan Sabakingkin dari Banten

 

Selanjutnya dikisahkan pula bahwa Rangga Wulung,

anak keempat Elang Sutawinata

menurunkan lima orang anak yang masing-masing disebut sebagai berikut:

Aki Ondang, Aki Buyut, Aki Anom, Aki Suma dan Aki Ace

dan diriwayatkan pula bahwa ketika Eyang Rangga Wulung memasuki Caringin

ia diiringi oleh Ajengan Kuningan dan Ki Age

yang keduanya dimakamkan di Kebun Tajur, di sebelah atas Legok Antrem

Kemudian daripada itu berniatlah kami kini

untuk mengurutkan garis keturunan Arifin

yaitu seorang rekan pengawas di Bina Kertajaga Siliwangi Anom

baik dari garis ayahnya maupun dari garis ibundanya

 

Para leluhur dari pihak ibunya adalah sebagai berikut:

Elang Sutawinata menurunkan Ranggawulung,

yang menurunkan Ki Ace, yang kemudian menurunkan

Ayah Haji Abdul Somad, yang kemudian menurunkan

Haji Ajid, yang menurunkan Hajjah Kuraisin, istri Ki Lurah Uji, yang menurunkan

ibu Enen, anak angkat Haji Atap, istri bapak Ubeh Subandi

 

Sedangkan para leluhur dari pihak ayahnya adalah sebagai berikut:

        Elang Sutawinata menurunkan Aki Kahir, yang menurunkan Ki Jepra, yang kemudian menurunkan Nini Sayem di Limus Nunggal

Selanjutnya Nini Sayem menurunkan Ki Rasiun, yang menurunkan

Ki Sarian, yang menurunkan Ki Jaian dan Ki Jaiin

Seterusnya Ki Jaiin menurunkan Ki Haji Muat

        yang menurunkan Ki Kaeji Haji Akhmali, yang dahulu memiliki Legok Antrem dan juga mendirikan

 persatuan pencak silat Hibar Karuhun

Maka Haji Akhmali itu dahululah yang membawa pengaruh Tarik Kolot  

ke sekitar desa Cikalang

dan dia adalah ayah Ki Haji Barnas, bapak Ubeh Subandi dan adik-adiknya

Selanjutnya, dari Cikalang di desa Caringin kami mengalihkan uraian

ke pemakaman tua di desa Cinagara, yang terletak dibawah pohon rindang

di situ disemayamkan Mbah Dalem Cinagara dan Mbah Dalem Asihan, istrinya

Seseorang meriwayatkan kepada kami tentang Mbah Dalem

        yang dikatakan berasal dari Jawa Timur dan disebut dengan nama Eyang Adeg Daha

tetapi seseorang lainnya mengisahkan silsilah Mbah Dalem sebagai berikut:

 

Dari trah Brawijaya, melalui trah Kalijaga diturunkan Raden Tresna

yang disebut juga Pandewulung dari Kudus

Ia menurunkan Sekh Japarudin dari Mataram

yang menurunkan Sekh Sekh Abdul Muhi dari Pamijahan

        yang selanjutnya menurunkan Sekh Mohammad Abdul Sobirin,

yaitu Mbah Dalem Cinagara

pepunden masyarakat di Dukuh Kawung

 

Demikianlah itu Sarasilah Caringin sebagaimana telah diuraikan

oleh Ki Jumanta dari Cikodok, yang sangat tekun mendalami sejarah

sekarang diurutkan pula nama-nama tempat dan desa

tempat para Karuhun di pusarakan dalam damai

 

Di Lemah Duhur dan Pancawati:

Eyang Kartasinga, Ki Sarian dan Ki Rasiun di Tarik Kolot.

        Eyang Ranggawulung dan putra-putranya, beserta ayah Haji Abdul Somad di Tarik Kolot.

Eyang Badigul Jaya, ayah Ursi dan Eyang Ragil di Pancawati.

Eyang Rasiyem di Legok Mahmud.

Aki Anyar dan Nini Siti Mastiyah di Tanjakan Saodah.

        Pangeran Jayakarta, putra Wijayakrama, yang memiliki petilasan di Pulo Gadung, berputra Eyang

 Sagiri, yang petilasannya terdapat di Bojong Katon.

Eyang Bangalan di Cikodok, Kampung Legok.

Ki Jaka Kadir dan Ki Jaka Bledek di Legok Antrem.

Nyi Antrem dan Ki Kartawirya di Legok Jambrong.

Ajengan Kuningan, Haji Sulaiman ayah Iming, uwak Esah anak Badigul Jaya,  Aki Age, Setyawati Kusumah

 dari Mataram dan Ki Jambrong anak Jaya Perkosa, semuanya di Kebun Tanjur.

 

Di Cimahi Jaya:

Tidak ada yang tercatat telah dipusarakan di tempat ini.

 

Di Pancawati:

Aki Ariyam dan Ki Suwita di Legok Nyenang.

 

Di Ciherang Pondok:

Nini Amsiah di tengah kawasan desa.

Haji Abdul Kohar atau Mbah Ageng di perbatasan Ciawi.

Nini Sarinem di Blitung-Cikeretek.

Hadikusuma, putra Tubagus Gelondong di Cibolang.

 

Di Muara Jaya:

Batara Kresna, Aki Arya Kusuma di Rawayan.

Adipati Wirasembada di Kampung Nyenang, dan mbah Muhi.

 

Di Pasir Muncang:

Aki Wirakerta dari Kuningan, Nini Antri, putri Ki Anyar, cucu Sekh Asnawi di Cipopokol Girang.

Aki Aliyun di Cipopokol Hilir.

Suryadiningrat, cucu Sekh Malik Ibrahim di Ciburial.

 

Di Cinagara:

Raden Suryapadang di Kampung Curuk Kalong.

Mbah Dalem Cinagara dan Mbah Dalem Asihan di Dukuh Kawung.

 

Di Tangkil:

Aki Degel, Haji Muid, dan Ni Jabon, istri Suryadiningrat di Kampung Loji.

Nini Rasa dan Ki Jambrong di Legok Batong, yang juga disebut Aki Palasara.

 

Di Pasir Buncir:

Batara Karang atau Pangeran Jayataruna dari Ponorogo.

 

Di Ciderum:

Bango Samparan dari Ponorogo, kakak dalang Asmorondono, dan Ki Kastiwa.

 

Di Caringin:

Galuh Pakuan atau Walasungsang atau Cakrabuwana; Ki Kartaji; Aji Tapak Ireng; Aji Wisa Ireng, dan Aji

Wisa Kuning di Kampung Curuk Dendeng.

Ki Umang, Aki Ranggading, dan Ki Kumpi di Cigintung.

 

Di Cimande Hilir:

Reksabuwana atau Bayureksa di tanjakan Ciberang, dan Eyang Bangala.

 

Demikianlah selesai kami urutkan

sarasilah, nama tokoh dan petilasan di Caringin

[Back]

 

 

Babad Caringin

Ucapkanlah Asma Yang Maha Agung di Pasir Karamat

kagumilah alam pada batu besar di Pancawati

hormatilah peninggalan yang sangat tua di Pasir Kuda

bersemadilah pada goa dengan air terjun di jurang Citaman

pergilah menapak tilas kelima tempat Siliwangi di sepanjang Cisalada

hingga ke Curuk Merot

pelajarilah warisan Cimande pada guru yang rendah hati

Kunjungilah Bumi Kawastu untuk merundingkan perjuangan

datanglah ke Legok Antrem untuk mempererat persaudaraan

dan dengarkanlah dengan teliti isi kisah babad Caringin

yaitu Caringin Kurung dari masa lalu

dan Caringin Kurung dari masa yang akan datang

Kemudian dengan tekad membaja dan semangat membantu negara

bersama-sama mengucapkan manggala,

sebagaimana telah disusun di Sasaka Antrem:

 

"Kertajaga Bumi Kawastu, Mugi rahayu di Legok Antrem, Mugi jaya di Tegal Laga, Mejangkeun teras hibar Karuhun"

 

Semoga semua rela menata dengan jujur

Semoga memperoleh harta rohani dalam bejana budi pekerti

yang mendatangkan ketentraman, yang mendatangkan kesejahteraan

 

Inilah riwayat babad Caringin, babad yang telah disampaikan dari yang tua kepada yang muda:

 

Dari ketinggian di Sasaka Jati Pasir Karamat memandang ke bumi Pakuan

memohon dan memperoleh terang batin: "Surya Padang Caang Narawangan"

menghargai dengan hormat Bukit Baduga di Rancamaya

menyaksikan dengan kagum Mandala Keratuan di Batu Tulis

melayangkan pikiran ke Watu Gigilang, yang kini terletak di negeri Banten

meneliti perjalanan sejarah di dataran yang berada di antara kedua gunung

 

Di sini pernah terjadi gejolak dan gemuruh peperangan

ketika terdengar kabar berlangsungnya perang antara Pajajaran dan Banten

juga ketika kemudian tentara Banten meliwati daerah

menuju Cikundul untuk menyerbu

Begitu pula para prajurit, perwira dan tokoh-tokoh persilatan

yang turut mengalami api perubahan jaman dan bergantinya masa; seterusnya menanamkan ciri dan corak keperkasaan ketika bermukim di Caringin

membanggakan keberanian dan kejantanan

di samping ketakwaan dan kesalehan

yaitu semangat keprajuritan sebagaimana terkandung dalam sasmita-kata:

 

"Bojong Katon Pasir Bedil Lemah Duhur Pangapungan Pancawati Denda"

 

Ratusan tahun yang lalu berdiri sebuah tangsi tentara Mataram

yaitu di tempat yang sekarang disebut Pasar Caringin

yaitu pada jalan yang menuju ke Maseng, Pasir Bogor,

lalu Cihideung dan Kota Bogor

Jauh sebelum jalan mulai menanjak dan berbelok-belok

di situlah bersemayam Tumenggung Wiranegara 

pemimpin pasukan dari wetan yang gagah perkasa

yang sedang berusaha keras menahan pengaruh dari kota di utara

sebagai perwira Mataram dan sebagai kusuma bangsa

sebagai tokoh perjuangan yang tak lelah berkarya

 

Kapan dan bagaimana para perwira Mataram tiba

tentunya ditanyakan peristiwanya oleh banyak orang

walaupun benar dan tidaknya itu masih sulit ditentukan

tetapi beberapa bukti menunjukkannya sebagai kemungkinan

 

Pada tahun 1628 dan 1629 tentara Mataram dan Sunda

datang menyerbu kedudukan Belanda di Negeri Betawi

pada kedua peristiwa itu mereka akhirnya dipukul mundur

Karena kalahnya persenjataan dan terbakarnya gudang-gudang makanan

ingin kembali ke timur jalan laut terhalang armada kompeni

maka terpaksa mengambil jalan darat di sepanjang pegunungan tengah

pada peristiwa itulah mereka meninggalkan nama dan bekas

 

Rawa Bangke tempat gugurnya ribuan pasukan

Matraman tempat mereka bermukim beberapa lama

Ragunan yang bukan tidak mungkin berasal dari nama Wiragunan

lalu adanya beberapa makam dan petilasan Kuno di Caringin

seperti Bayurekso-Reksobuwono di tanjakan Ciherang ia di pusarakan

dan ia disebut sebagai anak Radyaksa, cucu Jayadiningrat dari Kartasura

 

Kembali kepada periwayatan babad Caringin Kurung

katanya tangsi tentara Mataram itu dikurung tembok

dan di dalamnya ditanam pohon Caringin atau Beringin

yang dengan demikian melahirkan nama Caringin Kurung

Menurut kisahnya tempat itu pernah digadaikan kepada Belanda

yang menolak untuk menyerahkan kembali ketika hendak ditebus

karena itu muncul sengketa yang berkepanjangan

yang akhirnya pecah menjadi suatu pertempuran panjang

 

Semua kekuatan pribumi baik yang gaib maupun nyata dikerahkan

untuk merebut Caringin Kurung dan mengembalikan hak Wiranegara

dari kampung Gembrong di belakang Maseng Arya Wiryakusuma membantu

juga Suryakancana yang di luhurkan di kabupatian Bogor

di Pasir Muncang-Muara Jaya tegak berdiri Batara Kresna

Ki Kartaji, Aji Tapak Ireng dan Aji Wisa Ireng di Curuk Dengdeng

tidak ketinggalan pula Galuh Pakuan yang dihadirkan

untuk memperkuat seluruh pasukan-pasukan pribumi

Jaka Kadir dan Jaka Bledek menahan jalan di Legok Antrem

Eyang Bangala di Cimande Hilir, Ranggawulung di Pancawati

serta Aki Ranggagading dan Ki Kumpi di Cigintung-Caringin

hanya satu tokoh pribumi memilih untuk memihak Belanda

yaitu Hadikusuma, putra Tubagus Gelondong, di Cikeretek-Cibolang

Dalam adu senjata di hibar Caringin pada medan laga di bumi Pakuan itu

karena kehendak Yang Maha Kuasa

pasukan pribumi tak berhasil mencapai maksudnya

Bersama dengan perjalanan waktu yang mengikis dunia kebendaan

lenyap pula tempat dilingkup tembok dimana terdapat pohon beringin itu

tetapi rupanya tetap dikenang lalu dilontarkan ke masa depan

dijadikan ramalan melalui kata-kata orang tua :

 

"Lamun geus ngadeg Caringin Kurung, didieu bakal rame, didieu bakal makmur"

 

Demikianlah babad Caringin Kurung menurut penuturan Ki Jumanta

benar tidaknya kiranya hanyalah Tuhan yang mengetahui

tetapi satu hal saja hendaknya jangan dilupakan oleh para pewaris

ini adalah tanah perjuangan, tanah keperwiraan dan tanah keperkasaan

Ini adalah tanah orang yang beribadah, bekerja keras dan membangun kemuliaan

Karena itu bangkitlah untuk Caringin, untuk tanah air dan untuk masa depan

 

Semoga menerima berkat Yang Maha Kuasa … Semoga memperoleh restu para pendahulu

… Semoga mewarisi semangat para leluhur!

Jakarta, 1987

  

[Back]

 

 

[Ben Poetica] - [Karya Carita]


 

 Copyright©soneta.org 2004  
 For problems or questions regarding this web contact
[admin@soneta.org] 
Last Update: 04/06/2015