15 DARMA UPADESA 1996
01 Bagian Pertama: Agama 02 Bagian Kedua: Brahman 03 Bagian Ketiga: Atman 04 Bagian Keempat: Karma 05 Bagian Kelima: Punarbhawa 06 Bagian Keenam: Moksa 07 Bagian Keenam: Moksa
***************************************************************************************************************************
Ini adalah dharma upadesa yaitu ajaran para resi hindu yang mulia. Maka yang terkemuka di antara yang lainnya adalah Resi Agastya dari Kasi (Benares), seorang resi agung yang menjadi dharma duta, atau utusan kebenaran, dan dalam rangka itu telah melaksanakan perjalanan penting keseluruh benua India bagian selatan, dan beberapa daerah lainnya di kawasan Asia Tenggara. Karena telah melakukan berbagai perjalanan keagamaan (dharma yatra), ia kemudian dikenal sebagai Agastya yang melakukan perjalanan suci atau Agastya yatra, dan juga disebut sebagai bapak lautan atau Pita Sagara. Selanjutnya dimuliakan pula Resi Wiyasa, leluhur keluarga Bharata, yang telah mengumpulkan wahyu-wahyu suci di lembah sungai Sindhu. Dihimpunnya sabda- sabda kebenaran itu dalam keempat kitab suci Weda, dan juga dalam rangkaian ajaran agung yang kemudian disusun dalam kitab Sarasamucchaya oleh Resi Wararuci. Di tanah Jawa tokoh Resi Wiyasa dikenal dengan nama Begawan Abiyasa, dan selama masa pemerintahannya sebagai raja ia disebut dengan gelar Prabu Kresna Dwipayana. Berikutnya disebut juga dengan hormat para resi agung lainnya yang berasal dari tanah Jambudwipa, di antaranya ialah Manu, Gautama, Wasista, Wiswamitra, Kasyapa, Yajynyawalkia, dan khususnya Walmiki, yang telah menulis wiracarita ternama berjudul Ramayana. Demikian pula para resi terpandang yang pernah hidup di pulau Jawa dan Bali, di antaranya ialah Wararuci, Trimawindu, Markandeya, Kuturan, Bharadah, Kanwa, Tantular, Sidhimantra, Witadharma, Asthapaka, dan Dang Hyang Dwijendra. Itulah semua para resi suci yang telah mengajarkan tentang dharma yang luhur, yaitu terang kebenaran yang mengusir kegelapan batin. Ajaran dharma yang luhur itu pada hakekatnya adalah hukum kebenaran hidup yang hakiki. Karena dasarnya adalah suatu pemahaman yang utuh tentang hubungan antara Tuhan, Alam, dan Manusia (Tri Hita Karana). Oleh sebab itu dharma adalah sumber pengetahuan dan peri-laku kehidupan yang bersifat sempurna. Sebagai landasan hukum yang bersumber pada wahyu suci dan pengalaman hidup kebenaran-kebenaran di dalam dharma dapat diketahui melalui tiga cara yang utama (Tri Pramana), yaitu dengan menerimanya secara langsung sebagai wahyu yang diturunkan (Pratyaksa Pramana), atau dengan mengambil kesimpulan dari hasil penelitian dan pengamatan (Anumana Pramana), maupun dengan menerimanya melalui keterangan para guru, yang dapat keterangan tentang ajaran berdasarkan kitab pustaka suci (Agama Pramana).
Adapun ajaran dharma agama hindu, yang menuntun umat manusia dalam perjalanan hidupnya, adalah mutiara-mutiara kebenaran yang terdapat pada berbagai sumber tertulis, di antaranya adalah sebagai berikut:
Weda, yang berasal dari kata wid, artinya ilmu pengetahuan suci. Adapun pustaka mulia ini disebut Sruti, atau sabda yang diperdengarkan, dan terdiri dari empat bagian (Catur Weda), yaitu Rig-Weda, Yayur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda.
Upanisad, yaitu kitab-kitab pengetahuan dan pemikiran keagamaan yang merupakan hasil karya para resi suci.
Smerti, yaitu kumpulan ajaran Weda yang diberikan dalam bentuk rumusan-rumusan yang mudah diingat. Termasuk di antaranya adalah kitab Manu Smerti dan Sarasamucchaya.
Purana, yaitu kumpulan cerita dari perumpamaan yang mengandung ajaran suci.
Itihasa, yaitu sejarah kepahlawanan yang mengandung ajaran dan keteladanan yang luhur. Maka di antara kumpulan pustaka suci ini yang paling terkenal adalah Ramayana dan Mahabharata. Adapun di dalam Wiracarita Mahabharata yang sangat panjang itu terdapat sebuah bagian penting yang berjudul Bhagavadgita, yang berisi ajaran tentang dharma, sebagaimana telah diberikan oleh Sri Kresna kepada Arjuna di medan perang Kurusetra. Pustaka suci ini seringkali disebut sebagai kitab Weda yang kelima.
Maka seluruh ajaran dharma, sebagai pegangan dalam kehidupan, dapat diringkaskan menjadi lima pokok kepercayaan utama (panca srada), yaitu pokok-pokok kepercayaan tentang Brahman, Atman, Karma Phala, Samsara (Punarbhawa), dan Moksa. Berdasarkan kelima pilar kepercayaan itulah dharma ditegakkan di atas landasan-landasan pengetahuan (tatwa), perbuatan (susila), dan peribadahan (upacara), dalam rangka mewujudkan amanat kehidupan yang utama, yaitu untuk mencapai kelepasan jiwa dan kesejahteraan umat manusia (moksartham jagadhitaya ca iti dharmah).
Pengetahuan tentang Tuhan Yang Maha Esa (Widhi Tatwa) menerangkan bahwa Tuhan itu hanya satu dan tidak ada duanya (ekam eva adityam brahman). Maka hanya satu Tuhan itu sama sekali tidak ada duanya (eko narayanad na dwityosti kaccit), sehingga oleh karena itulah berlaku semboyan, berbeda-beda tetapi satu, tidak ada dharma yang mendua (bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa). Namun demikian walaupun pada hakekatnya hanya ada Satu Tuhan, akan tetapi orang bijaksana menyebutnya dengan banyak nama (ekam sat wiprah bahuda wadanti). Karena kemaha-kuasaanNya yang tak terbatas itu Ia dikenal pula dengan nama yang amat banyak. Maka di antara nama-nama tersebut yang paling utama adalah Brahma (Sang Pencipta), Wisnu (Sang Pemelihara), dan Siwa (Sang Pemusnah). Melalui ketiga perananNya itulah segala sesuatu dalam alam-semesta mengalami kelahiran, kehidupan, dan kematiannya.Bagi ketiga perananNya itulah ketiga aksara suci (AUM) diucapkan. Maka dari keagunganNya itu pula memancar sinar kemuliaan (dewa) dan daya kekuatan (bhatara), yang melindungi seluruh alam semesta. Karena itulah Tuhan senantiasa ada di mana-mana. Namun demikian keragamanNya tidaklah meniadakan keesaaanNya. Bahkan dalam keesaanNya Ia tidak terpengaruh dan tidak berubah oleh karena suatu apapun (wyapi-wyapaka nirwikara). Ia tidak berbentuk (nirupam), tidak bertangan dan tidak berkaki (nirkaram-nirpadam), dan tidak pula berpanca indera (nirindriyam). Ia mengetahui segala sesuatu, mengenal semua makhluk, tidak menjadi tua, dan tidak pernah berkurang maupun bertambah. Akan tetapi Tuhan dapat mengambil rupa perwujudanNya (avatara), khususnya bilamana dharma dan kehidupan terancam oleh keangkara-murkaan yang membawa kejahatan dan kenistaan.
Sesungguhnya Tuhanlah asal dan tujuan alam semesta (sangkan paraning dumadi). DaripadaNyalah segala sesuatu berasal dan kepadaNyalah pula segala sesuatu akan kembali. Maka terjadinya penciptaan (srsti) adalah melalui kemaha-kuasaanNya (kriyasakti), dan melalui itu pula seluruh ciptaan akan mengalami pralina (pralaya) serta kembali kepada keadaanNya yang sempurna. Sebagaimana disabdakan di dalam pustaka suci:
Purnamadah, purnamitam, purnat purnam udacyate, purnasya purnamadaya, purnam eva awacisyate
Sebagaimana Tuhan itu sempurna, demikian pula alam semesta itu sempurna, maka dari yang sempurna lahirlah yang sempurna, walaupun dari yang sempurna diambil (dikurangi) oleh yang sempura, tetapi sisa yang tertinggal tetaplah sempurna adanya.
Demikianlah awal dan akhir penciptaan berlangsung terus menerus dengan tanpa henti. Maka sebelum alam semesta itu dijadikan tidak ada suatupun yang ada, kecuali Tuhan dalam Ke-Esa-anNya. Melalui pemusatan daya (tapa), terpancarlah kemaha-kuasaanNya (vibhuti), yang kemudian menjadi segala sesuatu yang ada. Setelah dijadikanNya alam semesta, Tuhan memasuki ciptaanNya dan menjadi satu dengan kehidupan alam semesta itu. Maka melalui tapaNya itu terwujud pula seluruh bahan penciptaan alam (brahmananda), dan kedua kekuatan yang asali, yaitu daya kejiwaan (Purusa) dan daya kebendaan (Prakrti/Pradhana). Oleh karena pertemuan di antara kedua daya itulah alam semesta tercipta secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang amat panjang, melalui tahapan-tahapan yang telah ditetapkanNya. Di dalam rangkaian kejadian itu timbullah alam pikiran (citta), yang telah mulai dipengaruhi oleh ketiga daya triguna (satwa/rajah/tamas). Setelah itu munculah naluri pengenal (budhi), yang diikuti dengan akal dan perasaan (manas), serta rasa keakuan (ahangkara). Kemudian muncullah kesepuluh sumber indriya (dasa indriya), yang terbagi menjadi panca-budhi - indriya dan panca-karma-indriya. Termasuk dalam kelompok panca-budhi-indriya adalah rangsangan pendengaran (srota indriya), rangsangan perasaan (twak indriya), rangsangan penglihatan (caksu indriya), rangsangan pengecapan (jihwa indriya), dan rangsangan penciuman (ghrana indriya). Sedangkan panca-karma-indriya terdiri dari penggerak mulut (wak indriya), penggerak tangan (pani indriya), penggerak hati (pada indriya), penggerak pelepasan (payu indriya), dan penggerak kemaluan (upastha indriya). Setelah itu timbul pula kelima benih inti sari alam (panca tan matra), yaitu benih suara (sabda tan matra), benih sentuhan (sparsa tan matra), benih penglihatan (rupa tan matra), benih rasa (rasa tan matra), dan benih penciuman (gandha tan matra). Maka dari kelima benih inti - sari alam ini terciptalah kelima unsur kebendaan (panca-maha-bhuta), yaitu akasa, bayu, teja (agni), apah, dan pertiwi. Dalam bentuknya sebagai atom (parama-anu), kelima unsur alam kebendaan ini berkembang dan mengolah dirinya sendiri hingga akhirnya memenuhi dan menjadi seluruh alam semesta . Adapun seluruh alam semesta yang telah tercipta itu terdiri dari tujuh lapisan alam, yaitu bhur-loka, bhuwah-loka, swah-loka, maha-loka, jana-loka, tapa-loka, dan satya-loka. Sebagaimana disebutkan dalam puja-mantra gayatri (trisandhya), ketiga dunia (triloka) yang berhubungan langsung dengan kehidupan manusia adalah bhur-loka (manusa loka), bhuwah-loka (pitra-loka), dan swah-loka (dewa-loka). Selanjutnya diterangkan pula bahwa dari sari-sari panca-maha-bhuta terciptalah keenam rasa (sad rasa), yaitu manis, pahit, asam, asin, pedas, dan sepat. Unsur-unsur tersebut bercampur dengan unsur - unsur cita-budhi-ahangkara, dasa indriya, panca tan matra, dan panca-maha-bhuta sehingga akhirnya menghasilkan kedua unsur benih kehidupan , yaitu benih wanita (swanita) dan benih pria (sukla). Sebagaimana pertemuan antara purusa dan prakrti (pradhana) mewujudkan alam kehidupan, demikian pula pertemuan antara lingga dan yoni mempersatukan sukla dan swanita. Maka cita, budhi, dan ahangkara kemudian membentuk budi perwatakan manusia yang akan dilahirkan. Dasa indriya membentuk indriyanya, sedangkan panca-tan-matra dan panca-maha-bhuta membentuk tubuh kehidupannya. Demikian pula sebagaimana alam-semesta (bhuwana agung) terdiri dari ketiga bagiannya (triloka), alam-pribadi manusia (bhuwana alit) juga terdiri dari tiga bagian (trisarira), yaitu badan kasar (sthula sarira), badan halus (sukma sarira), dan badan penyebab (karana sarira). Sesungguhnya memang oleh karena asalnyai yang sama, di antara alam semesta dan alam pribadi dapat ditemukan amat banyak kesamaan. Maka di dalam peristiwa terjadinya alam-semesta, dan kehidupan di dalamnya, manusia yang pertama ada ialah Swayambhu Manu. Rangkaian kedua nama tersebut mengandung pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang menjadikan dirinya sendiri (Swayambhu), dan yang mempunyai pikiran atau akal-budi (Manu).
Pengetahuan tentang kehidupan jiwa manusia (atma tatwa) menerangkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) adalah Jiwa Yang Maha Tinggi (Parama Atma), sedangkan jiwa manusia (atma) adalah percikan-percikan kecil yang memancar daripadaNya. Sebagai sumber keberadaan yang menghidupkan tubuh manusia atman disebut pula dengan istilah Jiwatman. Demikianlah atman menghidupi semua mahkluk (sarwa prani) di seluruh alam-semesta.
Tanpa kehadiran atman seluruh indera pada tubuh manusia tidak akan dapat bekerja, dan kehidupannyapun tidak akan berlangsung. Menurut ajaran pustaka suci keadaan atman itu tak dapat terlukai oleh senjata (achodya), tak terbakar oleh api (adahya), tak terkeringkan oleh angin (akledya), tak terbasahkan oleh air (acesyah), abadi (nitya), di mana-mana ada (sarwagatah), tak berpindah-pindah (sthanu), tak bergerak (acala), selalu sama (sanatana), tak dilahirkan (awyakta), tak terpikirkan (achintya), dan tak berubah serta sempurna tanpa jenis kelamin (awikara). Namun demikian walaupun atman pada hakekatnya sempurna, dalam persatuannya dengan tubuh jasmaninya ia memasuki dunia kegelapan (awidya).
Selanjutnya diterangkan pula bahwa ketika manusia mengalami kematian tubuh jasmaninya akan mengalami kehancuran, akan tetapi jiwatman, yaitu atman-budhi-manas-nya, akan mengalami ganjaran sesuai dengan perbuatannya selama hidup di dunia. Akan tetapi hukuman ini tidak akan berlangsung selamanya, karena sesuai dengan hukum karma-phala pada waktunya jiwatman akan kembali dilahirkan. Hal ini akan terjadi berulangkali hingga akhirnya jiwatman mencapai puncak pengertian tentang dirinya, dan menyadari tentang hakekat dirinya sebagai bagian dari Parama-Atma. Pada saat itulah ia akan terlepas dari belenggu keduniawian dan mencapai kebahagiaan abadi (moksa).
Pengetahuan tentang buah-buah perbuatan (Karma Phala) pada hakekatnya bersandar kepada pengertian bahwa perbuatan yang baik (Cubhakarma) akan mendatangkan hasil yang baik, sedangkan perbuatan yang buruk (Acubhakarma) akan mendatangkan hasil yang buruk pula. Maka ada tiga jenis hukum karma-phala, yang berlaku di seluruh alam-semesta, dan mempengaruhi semua bentuk kehidupan yang berlangsung di dalamnya. Ketiga jenis hukum karma itu adalah ... Karma Sancita, di mana buah perbuatan dari kehidupan yang terdahulu belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan di masa sekarang …Karma Prarabda, di mana buah perbuatan pada kehidupan ini telah dinikmati tanpa ada sisanya lagi ... Karma Kriyamana, di mana buah perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat harus diterima pada kehidupan yang akan datang.
Pada hakekatnya hukum karma-phala memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memperbaiki keadaan jiwanya, di dalam dan melalui rangkaian kehidupan yang sedang dan akan dijalaninya.
Pengetahuan tentang kelahiran kembali (Punarbhawa) dan penderitaan (Samsara) menjelaskan bahwa setiap manusia mengalami kelahiran yang berulangkali (Samsriti). Peristiwa ini terjadi baik dalam alam kehidupan yang sama maupun dalam alam kehidupan yang lebih tinggi atau lebih rendah, dan berlangsung sebagai lingkaran penderitaan yang seakan-akan tidak akan pernah berakhir (Samsara). Adapun kata punarbhawa itu sendiri berarti menjelma kembali. Maka di dalam peristiwa kelahiran kembali itu berlangsung pengaruh daripada bekas (wasana), yang terdapat pada sukma-jiwa (Jiwatman). Bekas-bekas perbuatan (karma wasana), yang bermacam-macam itu, sangat menentukan bentuk-bentuk kehidupan yang akan dimasuki oleh setiap jiwa yang akan dilahirkan kembali. Dalam hubungannya dengan ajaran tentang kelepasan jiwa (moksa), walaupun hal itu merupakan tujuan akhir bagi setiap orang, setiap kelahiran yang terjadi itu sendiri adalah suatu kesempatan untuk meningkatkan kesempurnaan hidup, dalam rangka menuju kepada bentuk dan tingkat yang semakin lebih mulia.
Pengetahuan tentang tujuan akhir, bagi setiap orang yang menjalani kehidupannya di dalam kebenaran dharma, adalah mengenai makna kelepasan jiwa dan kesejahteraan umat manusia (moksartham jagadhitaya ca iti dharmah). Adapun moksa, yang berarti kebebasan dari ikatan keduniawian, belenggu hukum karma, dan kehidupan samsara itu dapat dicapai bukan saja setelah berakhirnya kehidupan, akan tetapi juga dalam kehidupan yang masih berlangsung (jiwan-mukti). Sedangkan usaha untuk menuju kepada moksa adalah dengan berbakti di dalam dharma untuk memperoleh anugerah Tuhan. Maka usaha ini dapat ditempuh dengan melaksanakan catur-yoga, yaitu yoga berdasarkan pengetahuan (jnana-yoga), yoga berdasarkan kebaktian (bhakti-yoga), yoga berdasarkan perbuatan (karma-yoga), dan yoga berdasarkan samadhi (raja-yoga). Karena keempat yoga ini pada hakekatnya memiliki nilai yang sama, maka cara manapun yang akan dipilih dalam rangka mencapai tujuan yang akhir adalah sama baiknya, sepanjang dilakukan dengan tulus, ikhlas, tekun, teguh, dan tanpa pamrih. Maka jiwa yang terlepas dari belenggu kegelapan (awidya), dan mencapai kebebasan (moksa), akan bersatu dengan Tuhan serta mengalami kebenaran, kesadaran, dan kebahagiaan yang abadi (sat cit ananda). Ia akan berada dalam suasana kesukaan yang tidak lagi akan diikuti oleh kedukaan (sukha tan pawali dukha).
Berdasarkan pengetahuan suci (tatwa) tentang kelima pokok kepercayaan (panca-sraddha) itulah kesusilaan (susila) dan persembahan (yadnya) dilaksanakan. Segala perbuatan kebajikan dilakukan kepada sesama makhluk, karena bagi setiap pengikut ajaran dharma berlaku amanat tentang sesamanya manusia: Tat Twam Asi
(Ia Adalah Kamu). Maka dengan didasarkan atas keyakinan diri akan kesatuan seluruh kehidupan di alam semesta, setiap orang akan berada dalam keadaan berhutang-budi kepada dewata (dewa rna), leluhur (pitra rna), dan resi begawan (resi rna). Oleh karena itu pula setiap orang memiliki kewajiban untuk menjunjung-tinggi semua yang luhur, dan mempersembahkan kelima pengorbanan suci (Panca Yadnya).
Persembahan kepada Tuhan dan para dewata (dewa yadnya), dengan jalan berbakti, memuja, mematuhi ajaran suci, dan melakukan kunjungan ketempat-tempat suci (tirtha- yatra).
Persembahan kepada para leluhur (pitra-yadnya), dengan memuja untuk memohon keselamatannya di akhirat dan memelihara keturunannya dengan baik serta menurut kepada segala tuntunannya.
Persembahan kepada semua keturunan, demi keselamatannya dan bagi kesejahteraan seluruh umat manusia (manusa-yadnya), dengan melakukan pemberian dana punia dan segala usaha yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia .
Persembahan kepada para resi (resi-yadnya), dengan memperhatikan kesejahteraan hidupnya dan dengan mengikuti ajarannya yang suci.
Persembahan kepada seluruh kehidupan (bhuta-yadnya), baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, agar sekalian mahkluk turut serta dalam memelihara kesejahteraan alam-semesta.
Di samping teguh melaksanakan yadnya, setiap orang yang ingin mengamalkan dharma dengan sempurna akan berusaha pula untuk menjalani keempat tingkat kehidupan (catur-asrama), yaitu berguru untuk menimba ilmu-pengetahuan suci (brahmachari), berkeluarga dan membina keturunan (grihastha), bersiap untuk meninggalkan keduniawian walaupun masih tetap dalam keadaan bekerja (wanaprastha), dan berbakti kepada Tuhan serta melepaskan keduniawian (biksuka). Khususnya pada tingkat yang terakhir itulah seseorang berdharma dengan menyebarluaskan ajaran-ajaran suci (nisparagraha). Maka oleh karena panggilan dharma itu pula semua anggota keempat golongan (catur warna), yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra erat bekerja-sama untuk membina kesejahteraan seluruh alam-kehidupan. Sesuai dengan watak, niat, dan bakatnya (swadharma), semua berupaya untuk mengusahakan kesejahteraan rokhani (bhukti) dan jasmani (mukti), dengan mengejar ketiga keutamaan (triwarga), yaitu kebenaran dalam kebajikan (dharma), kekayaan dalam ketekunan (artha), dan kesenangan dalam kehidupan (kama). Dengan senantiasa menyadari pengaruh-pengaruh satwa, rajah, dan tamas, sebagai sumber ketiga pengaruh (triguna), yang mendorong seseorang kepada kebaikan (dharma), kesenangan (kama), dan kejahatan (adharma). Selanjutnya, dalam rangka mengusahakan keutamaan hidup baiklah pula untuk meneliti musuh-musuh di dalam diri yang harus dikalahkan, dan menguraikannya dengan rinci, yaitu:
Keenam macam musuh (sadripu), yaitu nafsu (kama), keserakahan (lobha), kemarahan (krodha), kemabukan (mada), kebingungan (moha), dan iri-hati (matsarya).
Keenam macam pembunuh kejam (sadatatayi), yaitu membakar milik orang lain (agnida), meracuni orang lain (wisada), menjalankan ilmu hitam (atharwa), mengamuk(sastraghna), memperkosa (drati krama), dan memfitnah (rajapisuna).
Ketujuh macam kegelapan atau kemabukan (saptatimira), yaitu: ketampanan/kecantikan (surupa), kekayaan (dhana), kepandaian (guna), keturunan/kebangsawanan (kulina), keremajaan (yowana), minuman keras (sura), dan kemenangan (kasuran).
Adapun jalan untuk mengalahkan musuh-musuh di dalam diri itu adalah dengan memperhatikan ketiga dasar perilaku manusia yang harus disucikan (trikaya parisudha), yaitu pikiran (manacika), perkataan (wacika), dan perbuatan (kayika).
Oleh karena itu patut diketahui pula segala berbagai larangan yang harus dipatuhi, yaitu:
Ketiga macam perilaku dengan pikiran, yaitu tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, tidak berpikir buruk terhadap mahkluk lain, dan tidak mengingkari ajaran karma-phala.
Keempat macam perilaku dengan perkataan, yaitu tidak suka mencaci-maki, tidak berkata kasar kepada makhluk lain, tidak bersaksi dusta, dan tidak mengingkari janji atau ucapan.
Ketiga macam perilaku dengan perbuatan, yaitu tidak menyiksa atau membunuh mahkluk lain, tidak melakukan kecurangan atas harta-benda, dan tidak berjinah.
Dalam rangka itulah seseorang yang ber-dharma akan senantiasa berusaha untuk mengikuti tuntunan kesusilaan yang luhur, yaitu hakekat tapa- brata dalam kehidupan orang yang bijak:
Panca Yama Brata, yaitu tidak menyiksa/membunuh (ahimsa), tidak melakukan hubungan kelamin selama menuntut ilmu-pengetahuan suci
(brahmachari), setia akan janji yang menyebabkan kesenangan orang lain (satya), melakukan usaha-usaha yang bersumber kepada kedamaian/ketulusan (awyawaharika), dan tidak mencari atau berbuat curang (asteya).
Panca Niyama Brata, yaitu tidak dikuasai oleh kemarahan (akrodha), hormat, taat, dan tekun melaksanakan ajaran-ajaran guru (gurususrusa), memelihara kesucian lahir-batin (sauca), mengatur cara dan waktu makan serta tidak hidup dalam kemewahan yang berlebihan (aharalagawa), taat dan bersikap tidak tekebur dalam mempelajari dan mengamalkan ajaran suci (apramada).
Dasa Yama Brata, yaitu tidak mementingkan diri sendiri (anrengsasya/arimbawa), suka mengampuni dan tahan uji dalam kehidupan (ksama), setia dengan ucapan sehingga menyenangkan dan menghidupkan suasana (satya), tidak membunuh, menyiksa, dan menyakiti makhluk lain (ahimsa), dapat menasihati diri sendiri (dama), jujur mempertahankan kebenaran (aryawa), cinta dan kasih-sayang kepada sesama mahkluk (priti), berpikir dan berhati suci serta bersikap tanpa pamrih (prasada), bersikap penuh ramah-tamah, lemah-lembut, dan sopan-santun (madurya) bersikap rendah-hati (mardawa).
Dasa Niyama Brata, yaitu pemberian sedekah (dana), pemujaan terhadap Tuhan dan pemujaan terhadap leluhur (ijya), membina daya tahan diri (tapa), memusatkan pikiran terhadap keagungan Tuhan (dhyana), mempelajari dan memahami ajaran-ajaran suci (swadhyaya), mengendalikan hawa-napsu kelamin (upasthanigraha), taat akan sumpah (brata), berpuasa (upawasa), membatasi perkataan (mona), melakukan penyucian setiap hari dengan jalan membersihkan diri dan bersembahyang (snana).
Demikianlah kehidupan di dalam dharma memiliki sendi-sendi budi pekerti yang luhur. Oleh karena itu seorang yang ber-dharma senantiasa berguru sepanjang hidupnya. Ia berbakti dalam ketulusan-hati kepada keempat guru agung (catur kang sinanggah guru), yaitu pendeta (guru pengajian), bapak dan ibu (guru rupaka), dan pemerintah (guru wisesa), yang disebut pula Sang Guru Tiga (Triguna), serta Tuhan Yang Maha Esa sebagai guru yang utama (guru sejati/guru swadhyaya). Selanjutnya dengan mempelajari keagungan wiracarita, seseorang yang ber-dharma juga berguru untuk meningkatkan keyakinan bahwa kebenaranlah yang pasti menang, dan bukan kecurangan (satyam jayate na anretam). Sesungguhnya … "kebenaranlah yang menang pada akhirnya" (nyato dharma slatho jaya). Maka berdasarkan pengetahuan suci (tatwa), dan perbuatan baik (susila), dharma ditegakkan dalam kehidupan, dan kemudian disempurnakan melalui pemujaan (upacara). Adapun orang yang teguh keyakinan hatinya, ia setia menjalin hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widi Wasa). Dalam sikap bakti namaskara puja, tiga kali sehari memanjatkan Trisandhya, mengucapkan Gayatri-mantra yang suci.(Jayakarta, 02/04/1996-13/04/1996)
Om Swastyastu … Om awighnam astu … Om dirghayu astu!
Om santih santih santih om!
Sumber Pustaka:
Upadesa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu (Parisada Hindu Dharma)
Ketuhanan Dalam Weda (I Made Titib)
Speaking Of Siva (A.K. Ramanujan)
[Ben Poetica] - [Karya Carita]
|
Copyright©soneta.org
2004
|