16 DHARMA GURU NANAK 1996
01 Bagian Pertama: Tuhan Yang Maha Esa dan KebenaranNya 02 Bagian Kedua: Tuhan Yang Esa dan Kehidupan Manusia 03 Bagian Ketiga: Kemanusiaan Yang Utuh dan Tujuan Kehidupan 04 Bagian Keempat: Kehidupan Yang Benar dan Pengalaman Berguru
***************************************************************************************************************************
Ini adalah ajaran guru yang mulia, yaitu pedoman suci bagi para siswa (Sikkha), yang mencari kebenaran di Jalan Ketuhanan. Guru Agung bernama Nanak (15/04/1469-22/09/1539) menerima tugas dan di utus oleh Tuhan, pada waktu ia memperoleh amanatnya:
Nanak … Aku menyertai engkau … Aku bersama engkau. Melalui engkau namaKu akan diagungkan ... Pergilah (engkau) kedalam dunia untuk berdoa dan mengajar umat manusia berdoa. Janganlah (engkau) ditundukkan oleh tipu daya dunia. Hendaklah hidupmu dipenuhi pujian kepada sabda (nam), kebajikan (dan), pembasuhan (ishnan), pelayanan (seva), dan doa (simran).
Bagian Pertama: Tuhan Yang Maha Esa dan KebenaranNya
Tuhan itu esa, abadi, dan tidak memiliki rupa (nirankara). Dia adalah Bapa (Pita), kekasih (Pritam), tuan (Khasam/Malik/Sahib), pemberi yang agung (Data), dan Tuhan (Ishvara). Ia disebut dengan nama Rab, Ram, Govinda, Murari, dan Hari. Ia disebut Aumkara, karena Tuhan itu Esa (Ik Aum Kar). Dialah Pencipta Sejati (Sat Kartar), yang menjadi pemilik Nama Sejati (Sat Nam). Dalam pujian namaNya disebut: Wah Guru! Tuhan adalah pencipta dan pemelihara alam semesta, yang menjadi sumber kegaiban dan keajaiban hidup. Dia adalah kenyataaan yang sejati, karena segala-sesuatu di luar Dia itu khayali (maya). Sebelum segala-sesuatu ada, Tuhan bukanlah apapun (nirguna), dan Iapun sendiri dalam keheningan yang dalam (sunya samadhi). Akan tetapi setelah kejadian alam Tuhan adalah segala sesuatu dan segala-galanya (saguna), yaitu yang mampu untuk menghimpun segala-sesuatu di dalam diriNya yang tak tergambarkan itu. Maka di dalam Tuhanlah masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Dialah yang menjadikan Brahma, kesadaran, ruang, dan waktu, serta seluruh Weda. Dia adalah pembebas. Dia adalah pusat dan inti ketiga alam. Tidak ada yang menyamai Tuhan dalam keesaanNya. Tanpa dipengaruhi oleh rasa takut, apalagi rasa benci, Tuhan adalah kebenaran yang tidak berubah dan bersifat maha-sempurna. KeadaanNya abadi oleh karena Ia tidak berasal dari apapun, dan Ia ada oleh karena diriNya sendiri. Dia berada di mana -mana, meliputi segala-sesuatu, dan menguasai segala-sesuatu. Sesungguhnya Tuhan adalah kenyataan yang sejati dan kebenaran yang tidak mendua (sat), maka kebenaran Nya adalah dasar bagi manusia untuk hidup secara benar. Tuhan adalah sumber seluruh karunia kehidupan yang dianugerahkan kepada umat manusia. Melalui sabdaNya Tuhan menyatakan hukum, yaitu kehendak dan tujuan yang ditetapkanNya bagi umat manusia di muka bumi. Dia pula yang menyatakan diri Nya melalui sabda dalam rangka mengundang manusia untuk menyembah dan mempersembahkan dirinya bagi kemuliaan nama Tuhan. Cita-kasih Tuhan hadir dalam setiap ciptaan dan di dalam hati setiap orang. Anugerah dan kasih-karuniaNya senantiasa tertuju kepada seluruh umat manusia, karena Tuhan adalah sumber kebijakan dan kebajikan yang tertinggi. Maka anugerah Tuhan yang terbesar adalah kebebasan, yang diberikanNya kepada umat manusia, untuk memilih di antara panggilan kebaikan dan dorongan kejahatan.
Bagian Kedua: Tuhan Yang Esa dan Kehidupan Manusia
Tuhan itu ada dan esa pada mulanya, yaitu ketika segala-sesutu beum ada. Sebagai benih, pikiran, dan ciptaan yang pertama, kehendakNya mengarahkan daya-saktiNya untuk menjadikan segala-sesuatu. Dia yang merupakan kenyataan yang sejati menciptakan maya atau prakrti. Dia yang esa menjadikan segala-sesuatu di dalam keaneka-ragaman. Selanjutnya Tuhan menjadikan manusia sebagai wadah yang akan menjadi sarana bagi kehendakNya. Maka oleh karena kehendak Tuhan, manusia hidup dalam rangkaian kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali (samsara). Maka di dalam kehidupannya itulah manusia dihadapkan kepada pilihan antara kebaikan dan kejahatan. Adalah kewajiban manusia untuk mengikuti panggilan kebaikan dengan mematuhi perintah-perintah Nya (hukum rajai chalna), agar diperolehnya anugerah Tuhan (nadar). Maka di dalam mengikuti panggilan itu, hubungan antara Tuhan dan manusia dapat dipahami melalui samadhi, kebaktian, dan pelayanan dalam masyarakat. Demikianlah manusia yang hidup di alam samsara menerima anugerah hukum dan kebebasan yang bersifat saling melengkapi. Karena di dalam Tuhan hukum karma dan hukum kasih itu berjalan beriringan. Kenyataan ini berhubungan erat dengan hakekat jiwa manusia (Atman) sebagai kehidupan yang berasal dari kesempurnaan Tuhan (Brahman) yang abadi. Adalah alam-semesta dan pengalaman hidup yang membentuk peri-laku manusia dalam segala keterbatasan dan kekurangan serta ketidak-sempurnaannya. Walaupun demikian kesementaraan dunia tidaklah meniadakan hakekat ciptaan yang sejati. Karena dalam segala keterbatasannya seluruh ciptan Tuhan mengandung kebenaranNya. Maka dalam kehidupan manusia prakrti memainkan peranan yang sangat besar. Di bawah kekuatan maya hukum kesementaraan hidup itulah yang mengantar jiwa dari satu kehidupan kepada kehidupan berikutnya. Pada saat prakrti atau maya kehilangan pengaruhnya, maka jiwa manusia (Atman) akan mulai memperoleh kesadaran dan pengetahuan akan Tuhan (Brahman) dalam hakekatnya yang tertinggi (Para Brahman).
Bagian Ketiga: Kemanusiaan Yang Utuh dan Tujuan Kehidupan
Pada dasarnya manusia telah kehilangan kesempurnaan jiwanya oleh karena keangkuhan, kebodohan, dan kepalsuan dirinya sendiri. Oleh karena mengikuti pikirannya sendiri, manusia lalu mengandalkan kekuatan dirinya sendiri. Sebagai akibatnya ia menjadi tawanan di dalam penjara keakuan dirinya itu. Karma di masa lalu menentukan keadaan diri dan kehidupannya di masa kini. Terperangkap dalam segala keterbatasannya manusia kemudian mengabaikan hakekat alam-semesta, kebutuhannya akan pelepasan diri, dan kemampuannya untuk mencapai tujuan tersebut. Akan tetapi kesempatan senantiasa diberikan kepada manusia untuk mengakhiri kemelekatannya pada dunia, sehingga ia akan dapat melepaskan dirinya dari belenggu kematian dan kelahiran kembali di dalam samsara yang tidak berkesudahan. Ketika kasih karunia Tuhan menyentuh jiwanya, manusia disadarkan bahwa tujuan hidupnya adalah untuk mencapai kesempurnaan jiwa. Melalui hati-nuraninya saja Tuhan berbicara dan menawarkan jalan keselamatan bagi jiwanya. Maka jiwa manusia yang terpanggil kemudian akan mengarahkan segenap perhatian dalam ketekunan diri (sadhana), supaya secara berangsur-angsur kehidupan dan keadaan dirinya menjadi semakin sesuai dengan kehendak Tuhan. Sehingga hati yang dimilikinya kini menjadi tempat suci bagi dirinya sendiri. Maka di sanalah itu pula terletak jalan keselamatannya. Walaupun ia masih hidup di dalam dunia, ia tidak lagi terikat kepada semua kebodohan dan kebohongannya. Sehingga di dalam berhubungan dengan sesamanya manusia, ia dapat menemukan kebahagiaan dirinya. Ketulusan dalam penyembahan kepada Tuhan, dan ketekunan dalam perenungannya akan kebenaran, mewujudkan pula sikap dan peri-laku yang benar. Karena Tuhan adalah kebenaran dan melaksanakan kebenaran itu adalah jalan kehidupan yang benar. Pikiran dan hati serta tangan manusia sekarang bekerja-sama untuk meraih kesempurnaan diri. Secara bertahap nafsu, kemelakatan, keserakahan, kemarahan, kebencian, ketakutan, dan keangkuhan disingkirkannya melalui perenungan akan Tuhan dan kehidupan, hingga akhirnya tercapailah keheningan batin yang sejati (samadhi).
Bagian Keempat: Kehidupan Yang Benar dan Pengalaman Berguru
Mendengar suara Tuhan adalah langkah yang pertama, sedangkan langkah berikutnya adalah samadhi. Melalui itulah terjadi perubahan diri menuju kepada ketaatan hidup yang sesuai dengan nama dan hukum ketuhanan. Pada tingkat kehidupan inilah timbul kebutuhan akan tuntunan seorang guru. Oleh karena ketabahan dirinya seseorang membutuhkan kehadiran seorang guru dalam kehidupannya. Maka kemampuan untuk memahami seorang guru adalah karunia Tuhan, akan tetapi ketaatannya kepada guru adalah awal daripada ketaatannya kepada Tuhan. Karena pada hakekatnya Tuhanlah yang mempertemukan seseorang dengan gurunya, dan adalah guru itu juga yang akan mempertemukan seseorang dengan Tuhan. Maka guru adalah tuntunan yang benar di jalan Ketuhanan, dan tanpa tuntunannya seseorang tidak akan dapat mencapai kelepasan jiwanya. Seorang guru sejati (sat guru) mengarahkan siswanya (sisya/sikkha) kepada kehidupan yang benar di dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya manusia. Ia adalah seseorang yang telah berguru dan mencapai kesempurnaan jiwanya di dalam berguru, maka kini ia menjadi guru bagi para muridnya. Sedangkan seorang siswa yang berguru kepada guru sejati akan selalu mencoba untuk bersikap dan berbuat benar dalam kehidupannya, karena baginya Tuhan adalah kebenaran.
Akan tetapi karena Tuhan adalah kebenaran yang hidup, maka walaupun kebenaran itu adalah hal yang utama bagi dirinya, menjalankan kebenaran adalah hal yang akan lebih diutamakannya. Sebagai manusia yang menjunjung dharma dalam kehidupan berumah tangga (grihasta dharma), seorang siswa guru sejati akan bersikap penuh tanggung- awab tentang keluarganya, dan sekaligus mengambil bagian dalam kumpulan orang-orang yang mempelajari kebenaran. Dalam semangat keadilan dan persaudaraan, seorang siswa guru sejati senantiasa terpanggil untuk melaksanakan pengabdian kepada sesamanya manusia. Selanjutnya, seorang siswa guru sejati juga akan berusaha untuk menjalani kehidupan sebagai ibadah yang sejati. Seluruh rangkaian kehidupannya adalah karunia Tuhan, yang terus-menerus memberinya kesempatan untuk melepaskan diri dari samsara. Melalui ikatan persekutuan (yoga) dengan Tuhan, keselamatan akan dapat dicapai dalam pertemuan antara sinar abadi dan sinar insani. Ketika itulah manusia di dalam kefanaannya menjangkau kebakaan Tuhan. Akan tetapi usaha untuk mencapai tujuan yang mulia ini bukanlah hanya dapat dilaksanakan melalui perbuatan baik (karma-yoga), dan pengetahuan luhur (jnana-yoga), akan tetapi juga melalui kebaktian yang tulus (bhakti-yoga), sebagai jalan yang paling utama. Adapun di dalam mengamalkan jalan kebaktian (bhakti-marga), dihayati pula dengan kesungguhan jalan nama suci (nam-marga), sebagai inti- sarinya. Melalui nama Tuhan (sat nam) keakuan yang palsu (haumain) dapat dikalahkan dan kelepasan jiwa (moksa) dapat dicapai dalam kehidupan yang sedang berjalan. Dengan nama Tuhan, benih kesempurnaan di dalam keakuan diri dikembangkan, hingga kekuatannya menjadi terpusat untuk menundukkan keinginan rendah, kemarahan, keserakahan, kemelekatan, dan keangkuhan diri. Maka pikiran yang terombang-ambing akan berhenti dan manusiapun akan mencapai kenikmatan pencerahan rokhani (vismad). Pada puncak keheningan batinnya (divya drsti), terbukalah gerbang yang kesepuluh (dasam dvar), yang berada di ubun-ubun kepala. Ketika itulah manusia memperoleh penglihatan Illahi dan menyaksikan cahaya dirinya menyatu dengan cahaya keabadian Tuhan. Sesungguhnya untuk itulah doa nama Tuhan diucapkan, bukan saja dengan pengertian akan makna doa tersebut, akan tetapi juga dengan kesediaan untuk menerimanya sebagai pedoman hidup. Secara garis besar kebaktian kepada nama Tuhan sebagai jalan kerokhanian didasarkan atas tiga hal, yaitu: Kesadaran di hati akan kebenaran (hriday gyan), pengungkapannya di dalam doa (mukh bhakti), dan pelepasan diri dari perkara-perkara duniawi (vartan vairag). Karena pengetahuan akan kebenaran adalah senjata yang utama, bagi setiap orang, di dalam menghadapi pertempuran yang terbesar, yaitu pertempuran di dalam dirinya. Ia yang menang dalam pertempuran itu akan terlepas dari samsara dan berjaya atas belenggu-belenggu karma, takdir, dan nasib. Maka di atas dasar pemahaman inilah seorang siswa guru sejati berusaha untuk mengembangkan benih kebajikan di dalam dirinya. Melalui latihan dan penggalian dalam ibadah, jiwa dan raga ditempa dalam rangka mencapai kesempurnaan diri. Walaupun kemampuan dan pembawaan seseorang akan ikut menentukan dalam keberhasilan usaha yang luhur itu, semangat peribadahan adalah tetap kunci yang utama. Dengan ketekunan diri, pengendalian pikiran, pujian-pujian (kirtan), dan berbagai perkara-perkara kebajikan, seorang siswa guru sejati selalu berusaha memperkuat rasa kebaktiannya (bhakti-rasa). Bilamana memungkinkan selalu dipilihnya waktu yang terbaik untuk melaksanakan kebaktian yang tulus, dan penggalian diri yang tekun, yaitu pada pagi dini-hari ketika bintang-bintang malam di langit masih terlihat (amritvela).
Penulisan: (18/06/1994) s/d (25/06/1994) Perbaikan: (15/03/1996), (02/04/1996)) dan (14/04/1996)
Sumber Pustaka: The Encyclopedia of Religions: Adi Granth, Page 28, Volume 1, Nanak, Page 307, Volume 10 & Sikhism, Page 317, Volume 13.
[Ben Poetica] - [Karya Carita]
|
Copyright©soneta.org
2004
|