18 SANGGAR TRISAKA AGUNG 1998
*****************************************************************************************************************************************
SANGGAR TRISAKA AGUNG
Bila telah tiba waktunya akan datang seorang satria yang perwira (Sawung Jago). Ia akan teguh memegang warisan budaya (Bali Nusa), dan setia mengemban amanat yang luhur (Panji Trisaka). Di dalam segala hal ia akan senantiasa menguatkan setiap hati yang dituntunnya. Dengan penuh kesadaran ia akan merangkum semua pemikiran yang datang dari berbagai penjuru. Kewibawaannya akan menaungi dan memberi keteduhan yang menyejukkan, karena berasal dari kerendahan hati yang dalamnya tak terukur. Ia akan berdiri tegak sebagai raja utama (Aji Trisaka), dan bersujud menyembah sebagai hamba sahaya (Batur Trisaka). Dalam keyakinan hatinya ia akan selalu menjunjung tinggi ajaran yang luhur, dengan memelihara kesucian sanggar, kebijakan tuntunan, dan kerukunan warga.
Di Sanggar Trisaka Agung (Satria), dan di manapun bayang-bayang kesuciannya dijumpai, budaya Trisaka akan dijunjung tinggi sebagai budaya para satria. Maka di sanggar itulah, dan di manapun seorang satria berada, ia akan senantiasa terselubung dalam kesederhanaan diri dan kewajaran sikap (Satria Samar). Namun demikian dari kedalamannya yang tak nampak mata, sesungguhnya terlihatlah pancaran sinar yang terang (Samar Sumunar). Maka sesungguhnya di Sanggar Trisaka itulah para satria teguh memancarkan sinar dan semangat dalam suasana silih asah, silih asih, dan silih asuh. Karena demikianlah sinar dan semangat Risang Trisaka, yaitu: Sinar ketuhanan dalam semangat keagungan, sinar kehidupan dalam semangat kerahiman, dan sinar kejayaan dalam semangat keadilan. Sebagaimana pula sinar Kerokhanian Sapta Darma yang luhur telah memancar dalam semangat Panuntun Agung Sri Gutama dan Tuntunan Agung Sri Pawenang. Bahkan juga dalam semangat seluruh tuntunan dan warga Kerokhanian Sapta Darma, di manapun mereka berada. Maka dengan dasar itulah pula kiranya di sanggar ini akan dapat dilaksanakan pemaparan, penghayatan, dan pengamalan ajaran dalam segala kemurnian dan kesederhanaannya. Sebagai bangunan pemujaan (Candi), dan bagian dari tubuh yang utuh (Busana), kiranya di tempat itu sujud asal-mula manusia dilaksanakan dengan tekun dalam rangka penyembahan, penggalian, dan peruwatan diri pribadi.
PANJI TRISAKA AGUNG
Ketika kidung yang indah mengalun merdu terdengarlah di dalamnya sabda agung yang suci. Terlihat ketiga pataka berkibar megah memenuhi pandangan, di kala Tuhan menurunkan anugerahNya keatas tanah-air pusaka. Suara nada pujian terus menerus terdengar memenuhi alam keheningan. Hingga akhirnya ketiga pataka yang sedang berkibar itu kemudian menjadi satu. Maka di kala sinar cahaya menerangi seluruh bumi persada, tampaklah sebuah lambang yang berkibar agung di puncak bukit, dengan segala keanggunannya, di tengah kancah perjuangan hidup semesta. Demikianlah ketiga pataka yang membentuk lambang keluhuran, yaitu lambang yang menjadi tanda perjuangan para Satria Wiratama kini diuraikan secara rinci:
Pataka agung yang pertama adalah gambar luhur ‘swastika,’ yaitu bentuk keadaan (Ka) yang merupakan (Asti) tanda kebaikan (Su). Di antara berbagai keadaan yang baik, maka yang tertinggi di antara segala yang mulia adalah pasangan alam-semesta (Bhuwana agung) dan alam pribadi (Bhuwana Alit). Karena dengan mengamati gerakan dan pertemuan di antara keduanya itulah, kemudian dipahami asal dan tujuan seluruh kehidupan semesta. Dalam pengertian inilah juga ‘swastika’ melambangkan gugusan bintang Bimasakti, yang kelangsungannya berada di dalam gerakan alam-semesta, dan oleh karena itu juga menghasilkan gerakan yang mengarahkan kehidupan di dalamnya. Maka dengan demikian lambang ‘swastika’ juga menggambarkan daya kekuatan yang menjadi sumber kemakmuran, dan melalui perwujudannya sebagai bunga teratai (Padma) menyiratkan makna kedamaian abadi dalam keserasian alam-semesta. Sesungguhnya di dalam wawasan ‘swastika’ agung inilah manusia mengakui bahwa kekuasaan yang menjadikan hidup itu meliputi seluruh alam-semesta, dan meresapi seluruh kehidupan yang ada. Oleh karena itulah pula kedua garis bersilang pada lambang ‘swastika’ memberi dasar pemahaman bahwa tujuan utama setiap orang adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup dan mengusahakan kesejahteraan dunia (Moksartham Jagadithaya). Inilah pada hakekatnya semangat ketuhanan dan kemanusiaan yang menjiwai segala tindakan para satria di dalam menjalankan Agama Dharma Patikrama yang luhur. Sebab itulah pedoman suci yang tidak (A) akan sirna (Gam), yaitu hukum kehidupan semesta dan jalan kebenaran utama (Dharma), yang menjadi landasan bagi semua bentuk kebiasaan, kesopanan, ketertiban, ketetapan, dan kewajiban yang suci (Patikrama). Maka dalam rangka itulah pula para ‘satria wiratama’ memahami keempat tujuan hidup (Dharma~Artha~Kama~Moksa), serta menjalankan keempat sarana ‘yoga’ (Karma~Bhakti~Jnana~Raja). Sebagaimana telah diteladankan oleh para leluhur di tanah Jawa dan di pulau Bali, yaitu mereka yang menghayati Arjunawiwaha dan menjalankan Samadhi Chakra Yoga.
Pataka agung yang kedua adalah bendera merah putih, yang menjadi lambang keberanian dan kesucian bagi para satria pembela nusa dan bangsa. Sejak dari masa purba Sang Saka Dwiwarna telah dihormati sebagai gambaran matahari dan rembulan (Bagaskara & Candrabaga), serta pancaran kekuatan dan kehidupan (Linggamurti & Mahayoni). Kemudian dikenal pula dalam sejarah sebagai Sang Saka Gula Kelapa, yang juga melambangkan benih perempuan dan benih lelaki, yaitu awal dari kehidupan manusia. Maka pada perpaduan kedua warna itulah tersirat amanat kehidupan yang akan lestari apabila kesatuan dapat terbina dalam kerukunan. Oleh karena semua yang beraneka-ragam itu pada hakekatnya adalah satu (Bhinneka Tunggal Ika), dan tidaklah ada kebenaran yang mendua (Tan Hana Dharma Mangrwa). Maka dalam semangat itulah pula amanat Pancasila disiratkan pada kelima titik yang terdapat dalam susunan lambang (tengah-atas-bawah-kanan-kiri). Kelima sila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka Pancasila itulah yang menjadi pedoman kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Sebagai kesatuan nilai-nilai yang telah digali dari dalam sumber budaya bangsa, dan akan senantiasa diamalkan sesuai dengan perkembangan dan perubahan jaman.
Pataka agung yang ketiga adalah lambang (wahyu) kerokhanian yang telah diajarkan oleh kedua ‘panuntun’ yang agung, untuk kepentingan seluruh umat manusia. Adapun arti Sapta Darma itu terkandung di dalam Wewarah Pitu, yaitu ketujuh kewajiban suci yang terhimpun dalam kesatuan ‘darma’ yang luhur. Maka bentuk lambang yang terdapat pada kibaran panji satria itu menggambarkan kain sanggar berwarna putih, yaitu sehelai kain berbentuk segi-empat yang digunakan oleh para warga Sapta Darma di kala menjalankan Sujud Asal Mula Manusia. Di samping itu bentuk segi-empat belah ketupat juga menunjuk kepada gambar (simbul) pribadi manusia dan pusat ke-waskita-an yang berada di dada. Selanjutnya kelima titik yang terdapat pada lambang di atas panji menyiratkan Panca (Asma) Sila (Allah), yaitu kelima sifat Tuhan yang mutlak keadaannya. Kelima sifat Ilahi itulah pula yang merupakan sumber sila-sila kepribadian diri yang harus diusahakan oleh setiap manusia. Maka kelima sila yang mendasari wawasan ketuhanan dan kemanusiaan itu diterangkan sebagai keagungan Tuhan dan keluhuran budi, kerahiman Tuhan dan kebajikan kasih, keadilan Tuhan dan keadilan rasa, kewasesaan Tuhan dan kepasrahan diri, serta kelanggengan Tuhan dan kesadaran batin. Sehubungan dengan ‘asma’ yang kelima itu, maka kedua garis bersilang pada lambang di atas panji juga menunjuk kepada saat bertemunya kesucian manusia (Hyang Maha Suci) dengan kekuasaan Tuhan (Hyang Maha Kuwasa). Sesungguhnya peristiwa suci itulah yang terjadi di dalam Sujud Asal Mula Manusia, yaitu di kala yang abadi bertemu dengan yang maha abadi di dalam keabadian waktu Tuhan.
Demikianlah ketiga Sang Saka yang menyatu pada lambang Trisaka, yaitu gambaran ketiga sinar dan semangat kesucian yang luhur. Ketiganya itu adalah sinar kesatuan dalam semangat kerukunan, sinar ketuhanan dalam semangat kehidupan, dan sinar kesadaran dalam semangat kebajikan. Maka sinar semangat itulah yang akan menerangi setiap orang yang bersedia untuk menjadi hamba (Batur Trisaka), yaitu setiap orang yang terpanggil untuk mengabdi kepada kehidupan. Oleh karena itu semoga Sanggar Trisaka Agung (SATRIA) menjadi Sanggar Candi Busana yang akan senantiasa memancarkan sinar dan semangat luhur, karena di dalamnya terpadu ruang (Desa), waktu (Kala), dan suasana (Patra), yang senantiasa disucikan melalui pelaksanaan Sujud Asal Mula Manusia.
… demikianlah renungan singkat pengantar tugas … Semoga dapat menjadi gambaran yang cukup memadai dari sebuah pergumulan batin yang … berlangsung … Khususnya di saat-saat seperti sekarang ini, di mana banyak saudara-saudara sebangsa dan setanah-air seakan-akan telah kehilangan kemauan untuk saling mendukung dan mempercayai satu sama lainnya. Bahkan siap untuk bertarung di medan laga oleh karena perbedaan pendapat, dan kebenaran yang hanya dipahami secara sepihak. Bila anda melihat panji Trisaka agung …, maka sesungguhnya itulah ungkapan semangat yang bersumber dari akar budaya para leluhur bangsa di masa silam. Semangat kepahlawanan yang membara di dada dan menumbuhkan harapan untuk masa depan yang harus diperjuangkan bersama. Panji itu juga merupakan sebuah doa permohonan untuk suatu negeri yang indah, akan tetapi kini sedang dilanda oleh kemalangan yang beruntun dan berlipat-ganda. Bahkan doa untuk seluruh rakyat yang sedang mencari tuntunan, dan para pemimpinnya yang masih berusaha memberi pedoman. Kiranya Allah Hyang Maha Kuwasa berkenan untuk mendengarkan doa kita semua dan menunjukkan belas-kasihanNya kepada tanah-air tercinta.
Oleh karena itu adalah harapan kita semua agar kiranya Sanggar Candi Busana di … dapat menjadi persembahan yang pantas dan berkenan bagi kemuliaan nama Tuhan, keselamatan tanah-air, dan kesejahteraan umat manusia. Selamat menjalankan tugas! Semoga senantiasa memperoleh kebahagiaan lahir dan batin serta kesehatan jasmani dan rokhani! Jakarta, 21 November 1988
|
Copyright©soneta.org 2004
|