18 BHAKTI MARGA - KAYAKA DHARMA 1999
***************************************************************************************************************************
Pergilah ke tempat sunyi di kaki gunung kemuliaan, ke tempat terasing yang disucikan, yaitu ketempat yang berada di pertemuan kedua sungai. Datanglah untuk beribadah menjalankan bhakti namaskara puja, yaitu pada bulan baru, bulan purnama, dan hari raya kelahiran kita. Bersujudlah menyembah kepada Tuhan Yang Esa dan Yang Ada, yaitu Tuhan yang berkenan untuk menggelar seluruh keindahanNya di hadapan mata manusia. Rasakanlah keagungan, kerakhiman, dan keadilan Tuhan, ketika kelanggenganNya turun meliputi dunia, dan kewasesaanNya datang menaungi orang yang berbakti. Lalu dengarkanlah suara kidung pujian yang mengalun lembut, dan turutilah sabda dalam renungan yang menggugah hati.
Dialah Tuhan yang bersaksi di dalam aksara kata (omkara), yang mewahyukan kebenaran DiriNya melalui tanda (pranava), dan yang bersabda untuk mewahyukan dengan tanpa - henti: Akulah Tuhan ... (Sivoham)! Sesungguhnya, Dialah Tuhan yang dipuja senantiasa dalam kebenaran sabdaNya!
Dialah yang membentuk, menumbuhkan, dan menghasilkan segala sesuatu di dalam tatanan kehidupan, serta melebur, menguraikan, dan menghancurkan semua yang telah usang dalam pembaharuan hidup.
Dialah sumber dan jalan kehidupan yang menjadi dasar dan tujuan seluruh kehidupan manusia. Karena Dialah hakekat kehidupan yang menggerakkan seluruh kehidupan, supaya segala-sesuatu yang berlangsung di dalam kehidupan ini menjadi sempurna di dalam kehidupanNya.
Dialah hakekat keadaan yang tertinggi, yaitu keadaan agung yang meliputi, meresapi, mengatasi, dan menggerakkan kehidupan alam-semesta, berikut seluruh peristiwa yang berlangsung di dalamnya (paramapurusa). Maka Dialah Tuhan yang mahatinggi, yaitu kekuasaan yang mengatasi semua dan segala-sesuatu (parameswara). Di dalam Dialah saja yang bermacam-ragam menjadi satu dan yang esa menjadi beraneka, karena di dalam keadaannya kelelakian yang gagah dan kewanitaan yang lembut menyatu secara utuh (ardhanarisvara). Sesungguhnya Dialah keindahan yang bersemayam di atas singgasana kembang mutu manikam yang gilang-gemilang (padmasanamani).
Dialah yang berjaya memerintah di puncak gunung kemuliaanNya (giripati), yang menciptakan seluruh alam-semesta (prajapati), dan yang menguasai setiap makhluk yang menjadi miliknya (pasupati).
Dialah yang berwenang menguasai dunia berikut segala isinya (jagatnatha), yang merancang berbagai bentuk dan jenis kehidupan (visvakarma), dan yang menjadi raja di atas segala raja (natharaja).
Dialah yang berpijar menerangi seluruh alam-semesta (suryasevana), yang menciptakan kehidupan dengan sinar terangNya (hiranyagarbha), dan yang memancarkan sinar keagungan yang abadi (sivaraditya).
Dialah yang bertapa menjalankan yoga bagi kesejahteraan alam (mahayogi), yang merupakan sumber dari semua kekuatan yang suci (mahadeva), dan yang menjadi Tuan dari segala yang dipertuan (mahesvara).
Dialah yang berkarya mewujudkan kehidupan dengan kekuatanNya sendiri (sivasakti), yang memunahkan racun pembinasa kehidupan (nilakantha), dan yang menggetarkan setiap hati dengan auman suaraNya (sivarudra).
Dialah yang bergagah melintasi alam di atas tunggangan pilihanNya (nandivahana), yang membuka gerbang kegaiban di alam keheningan batin (siddhaniskala), dan yang menganugerahkan tanda kehadiranNya yang agung (sailalingga).
Maka bagi mereka yang berbakti kepadaNya, dalam keteguhan-batin, kerendahan-hati, dan kesadaran-diri, Dialah sumber kekuatan yang melindungi. Karena daripadaNya saja mereka telah menerima anugerah pusaka suci (pasupati), yang merupakan himpunan keempat daya kesaktian utama. Mereka yang beribadah kepadaNya kini menjadi makhluk kesayangan (pasu), yang menjadi milik tuannya seorang (pati), oleh karena hubungan cinta-kasih yang terjalin di antara keduanya (pasam), yang akan membebaskan diri dari semua ikatan belenggu (pasa).
Demikianlah halnya dengan mereka yang berbakti dalam keperwiraan batin (virasaiva), yaitu mereka yang hatinya dipenuhi dengan kobaran api cinta-kasih. Di dalam setiap ucapan kepada Tuhan, dan juga mengenai Tuhan, mereka bersaksi tentang kebaikan Tuhan dan tentang kerinduan jiwa manusia kepadaNya (vacana). Tuntunan yang amat bijak (allama-prabhu) bersabda dengan syairnya tentang Tuhan yang bersemayam di dalam kekelaman gua hatinya yang suci (guhesvara). Selanjutnya hamba yang terpuji kesetiaan dirinya (dasimayya) bersyair memuliakan Tuhan yang disembah oleh Sri Rama Pahlawan terpandang (ramanatha). Sedangkan pimpinan berbajik yang berkedudukan tinggi (basavanna) bersaksi tentang Tuhan yang dipujanya pada tempat pertemuan kedua sungai (kudalasanggamadeva). Bersama putri yang hatinya terlanda cinta (mahadeviyakka) mereka memuja Arjuna, yang menjadi tuan atas Dewi Malikka, yaitu Tuhan yang tampil putih indah berseri bagai melati (cenna-malikkarjuna).
Sesungguhnya mereka yang hatinya telah disentuh oleh kasih Tuhan, tiada akan henti mereka berbakti kepadaNya. Berpegang kepada Dia yang esa, yang keadaanNya tak tergambarkan dan kepribadianNya tak terpahami. Tidak terbatas Tuhan dalam keadaanNya yang bersifat mutlak, maka tidaklah Ia memiliki perwujudan, pemilahan, dan kemauan di dalam diriNya (nirguna). Namun demikian seluruh sifat, keadaan, kemauan, dan perwujudan yang tergelar memenuhi alam-semesta adalah berasal dari padaNya (saguna). Maka dari Dia yang disebut hakekat tertinggi (siva-paramatatva), yang terliput oleh tabir kerahasiaan abadi, mengalirlah kekuatan suci bersisi tiga (trimurti), yaitu penciptaan (brahma), penataan (visnu), dan peleburan (siva). Kepada Dia yang esa itulah para hambaNya datang untuk melebur berbagai rintangan dan hambatan rokhani, yaitu belenggu kehidupan yang sia-sia. Sehingga akan musnah bukan hanya kebencian, ketakutan, kesalahan, kebodohan, dan kepalsuan di dalam diri, akan tetapi juga perkastaan, upacara, dan berbagai kebiasaan yang tidak berguna. Maka di dalam keesaan Tuhan tidak ada lagi pembedaan antara pria dan wanita, tua dan muda, kaya dan miskin, brahmana dan sudra, serta raja dan hamba. Dalam sinar cahaya keagunganNya semua adalah hina dan nista, akan tetapi menjadi mulia di dalam kasihNya. Maka oleh karena merindukan hakekat kenyataan Tuhan di dalam hidup, kehinaan bukanlah lagi sesuatu yang harus dihindari, sebagaimana kemuliaan bukan pula sesuatu yang harus diperjuangkan. Demikianlah kuasa peleburan suci yang berkarya di dalam Tuhan kemudian mewujudkan semangat pembebasan jiwa pada mereka yang berbakti kepadaNya (bhakta). Di dalam namaNya mereka yang telah mengalami kebebasan rokhani itu kemudian berjuang bagi kebenaran dengan semangat keperwiraan yang tinggi (virakta). Berkarya membangun sebuah masyarakat baru yang berbakti dengan teguh dan bersaksi dengan tulus. Para guru yang menuntun, para abdi yang mengasuh, dan para siswa yang bekerja sama bahu-membahu untuk mewujudkan kehendak Tuhan dalam kehidupan di dunia. Datang berhimpun dalam ikatan persaudaraan yang erat raja, ratu, menteri, pejabat, pedagang, dan bahkan pekerja kasar. Mereka bergabung dalam kesetaraan dan kesejajaran, sebagai hamba-hamba Tuhan yang setia. Semua berbakti dan bekerja tanpa mengunggulkan yang satu dari yang lainnya. Tanpa kecuali setiap orang hidup dengan semboyan bahwa kerja adalah sorga (kayakave kailasa). Maka hanya mereka yang bekerja akan dapat berdiam di dalam Kerajaan Tuhan. Sesungguhnya berkarya itu adalah berbakti dan beribadah, akan tetapi sekaligus juga bekerja dan berusaha (kayaka).
Perhatikanlah bahwa bagi mereka yang berjuang di dalam Tuhan (virasaiva), dan menjadikan Tuhan sebagai dasar dan tujuan hidupnya, kebaktian kepada Tuhan adalah hal yang harus diutamakan. Semua bentuk upacara, yang didasarkan atas berbagai kepercayaan, kebiasaan, dan pandangan yang lama, kini tidak lagi dianggap berguna. Demikian pula berbagai tindakan yang dianggap kebajikan, seperti membedakan derajat manusia (kasta), menjalankan upacara suci (yadnya), dan menghormati perwujudan dewa (arca), bukanlah lagi hal yang dianggap penting. Bahkan berbagai tindakan yang dianjurkan, seperti mengkeramatkan tempat, menyucikan waktu, mengunjungi candi, mempersembahkan korban, dan melakukan nujum akhirnya dipandang sebagai kesia-siaan belaka. Sesungguhnya bagi setiap orang yang hidup di dalam Tuhan, rumah kediamannya adalah tempat yang suci oleh karena kehadiran Tuhannya. Sedangkan persembahan korban menjadi kehilangan arti, bila tidak disertai dengan persembahan hati yang tulus. Maka dirinya sendiri itulah candi yang suci bagi Tuhan, di mana doa-doa yang dinaikkannya menjadi dupa persembahan yang harum. Karena menaruh seluruh hidupnya di dalam Tuhan tidak lagi ia sibuk mengumpulkan nilai kebajikan (karma), terutama pada waktu-waktu yang telah ditetapkan (phalasruti), supaya jangan hatinya terkecoh oleh pandangan yang ingin menyalah-gunakan kebaikan Tuhan. Dijauhinya pula berbagai jenis ilmu nujum, karena semuanya itu bersumber pada kesalahan, kebodohan, dan kebutaan pandangan. Karena di dalam memandang ke masa yang akan datang, baik peristiwa yang akan terjadi maupun waktu yang akan bergulir, semua itu diserahkannya kepada Tuhan saja.
Maka tirulah mereka yang berbakti dengan tulus, tanpa mengandalkan kebenaran, kebajikan, keluhuran, kehormatan, dan kebaikan dirinya. Di dalam semua dan segala hal sesungguhnya mereka senantiasa bergantung kepada anugerah Tuhan semata. Tidaklah mereka mencari kenikmatan sorga, bila Tuhan tidak berada di dalamnya. Tidak pula mereka mengejar kejayaan hidup, bila hal itu akan menjauhkan mereka dari Tuhan. Dengan tanpa ragu mereka menempatkan pengalaman di dalam Tuhan sebagai sumber pengetahuan yang tertinggi (anubhava). Jauh di atas berbagai himpunan pengetahuan yang telah diterima (sruti), yaitu yang telah disampaikan untuk diingat (smrti).
Ingatlah selalu bahwa pengalaman yang sejati di dalam Tuhan adalah anugerah dan karunia (krpa), yang tidak dapat diundang, dipanggil, dan diulang sesuai dengan keinginan hati. Oleh karena itu barang siapa merindukannya hendaklah selalu mempersiapkan diri, menantikan dengan sabar, dan menyambut kedatangannya pada waktu yang akan ditentukan oleh Tuhan. Karena tidaklah ada mantra, puja, dan cara yang dapat memaksa turunnya karunia Tuhan itu (krpa=+). Sebagaimana pula tidak ada keinginan, kebutuhan, dan keakuan yang masih akan tersisa di kala seseorang menerima karunia suci dan memasuki pengalaman bersama Tuhan. Maka pada saat ia mengalami kehadiran Tuhan tidak lagi berarti apa dan siapa dia kini pada pemandangan dirinya.
Sebagai tanda terima kasih akan segala kebaikan Tuhan, mereka yang telah berbakti dan mengalami kehadiranNya, kini mengenakan kedelapan tanda persekutuannya (astavarana). Tanda suci berjumlah delapan yang terbagi menjadi tiga dalam kumpulannya:
Pertama adalah tuntunan yang membimbing jiwa kepada Tuhan (guru), yang mengalirkan air suci dari pembasuhan kakinya (padodaka), dan memberkati hidangan dalam jamuan persaudaraan dengan sentuhan tangannya (prasada).
Kedua adalah perlambang yang menggambarkan kehadiran Tuhan (lingga), yang menggerakkan kebaktian di hati manusia (angga), melalui pengucapan panca-aksara suci (namas-sivaya).
Ketiga adalah pengajar yang berkeliling dalam pengabdiannya kepada Tuhan (janggama), yang dihormati sebagai wujud kehadiran Tuhan di antara persekutuan suci, yaitu mereka yang mengenakan kalung tasbih dengan biji-biji yang melambangkan mata Tuhan (rudraksa), dan keningnya ditandai dengan abu suci (vibhuti).
Sesungguhnya itulah ketiga lambang kehadiran Tuhan (guru-lingga-janggama), yang senantiasa menyertai para hambaNya. Ketiganya itu mengingatkan manusia kepada Tuhan dan mengarahkan jiwa mereka kepada Tuhan. Maka mereka yang berbakti kepada Tuhan senantiasa memuliakan ketiga tanda kesucianNya itu. Dengan penuh kerendahan-hati membangun candi suci sebagai tanda kebaktian yang tulus. Karena itulah langkah kebajikan yang akan menuntun setiap orang kepada kebijakan di dalam hidupnya.
Bangunlah sesuatu yang akan bergerak terus-menerus dalam keabadian waktu (janggama), dan jangan dirikan sesuatu yang diam berhenti untuk kemudian jatuh, hancur, dan sirna (sthavara). Karena hanya orang yang berharta akan mampu untuk mendirikan bangunan candi yang tegak berdiri (sthavara), walaupun tidak ada ketulusan di dalam hatinya. Sebaliknya bagi orang yang teguh berbakti, walaupun papa tanpa harta, akan dibangunnya candi suci yang disukai Tuhan.
Maka bangunlah diri pribadi sebagai candi suci tempat persemayaman Tuhan. Di situ kedua tangannya menjadi sisi kanan dan kiri bangunan candi (hasta). Kedua kakinya menjadi pilar-pilar utama bangunannya (pada). Sedangkan kepala menjadi puncak candi yang mulia (sikhara). Diikuti bagian dalam tubuh yang menjadi tempat yang disucikan di dalam bangunan candi (garbhagrha). Maka keyakinan hati yang teguh kepada Tuhan adalah bagaikan benih yang selalu ditanamkan di tanah sebelum dibangunnya sebuah candi pemujaan. Sesungguhnya di dalam kehidupan yang dipersembahkan bagi Tuhan, tiada lain Tuhan sendirilah yang akan membangun candi suciNya.
Menyadari tentang keadaan dirinya, seorang hamba Tuhan yang setia tekun mengkaji semua yang dimilikinya. Ditelitinya keenam indera pada dirinya, yaitu penciuman (grha indriya), pengecapan (jihva indriya), penglihatan (caksu indriya), persentuhan (twak indriya), pendengaran (srota indriya), dan perasaan (bhava indriya). Lalu dipahaminya keenam rasa batin di dalam dirinya (antahkarana), yaitu naluri pikiran (citta), naluri pengenal (budhi), nalurikeakuan (ahankara), naluri perasaan (manas), naluri pengetahuan (jnana), dan naluri kesadaran (bhava). Kemudian disadarinya pula keenam unsur alam yang telah membentuk dirinya, yaitu tanah (prthivi), air (apah), api (agni), hawa (vayu), angkasa (akasa), dan cahaya (teja). Sehingga dapat dirasakannya getaran yang melintasi pusat-pusat kekuatan dalam dirinya (chakra), yaitu yang berada sejajar dengan tulang ekor (muladhara), kemaluan (svadisthana), pusar (manipura), hulu hati (anahata), hulu tenggorokan (visudhi) dan kening (ajna). Hingga akhirnya semua terhimpun menjadi satu pada pusat kekuatan ketujuh (sahasrara chakra), yang berada di ubun-ubun kepala, di mana daya yang menciptakan (siva) dan daya yang menggerakkan (sakti) berpadu dalam keserasiannya. Ketika itulah pula gerak jiwa manusia (angga) bersatu dengan sumber jiwa maha tinggi (lingga). Sehingga akhirnya kehidupan manusia melekat kepada sumber kehidupan yang telah menjadikannya. Kini yang mulanya terpisah telah dipertemukan kembali untuk menyatakan sabda suci: Akulah Tuhan … (Aum Sivoham)!
Itulah hakekat keadaan yang menjadi tujuan hidup yang sempurna. Hakekat pengetahuan suci yang menerangkan tentang keenam tingkat pengalaman (sthala), yaitu keenam tahap perkembangan kesadaran (sopana), yang menjadi keenam tingkat penghayatan para yogi yang terpandang (sadsthala siddhanta). Maka itulah gambaran, pedoman, dan pandangan yang memberi petunjuk tentang terjadinya alam dan terwujudnya manusia. Bahkan juga tentang bertumbuhnya kesadaran manusia yang rindu untuk mengenal asal-mula dirinya. Karena Tuhan telah menciptakan alam kehidupan sesuai dengan kehendakNya sendiri, dalam kesukaan-hati yang mewujudkan permainan kuasaNya (lila). Dialah yang telah menciptakan tabir-tabir pembatas yang memisahkan pandangan manusia dari kenyataan yang sejati (maya). Dari diriNya mengalir kekuatan yang menjadi terwujud dalam alam maya, dan kemudian mengambil bentuk-bentuk yang beraneka-ragam (rupa). Oleh keinginanNya sendiri Tuhan melibatkan diriNya (pravrtti), dan menanamkan keinginan hidup pada seluruh ciptaan, termasuk manusia. Keinginan hidup untuk menjadi keadaan yang hidup itulah yang menggerakkan daya hidup agar senantiasa ada dengan cara menjadikan dirinya berwujud. Demikianlah lingkaran kehidupan manusia akan berlangsung terus-menerus dengan tanpa henti (punarbhava). Sehingga setiap orang senantiasa menjadi terlahir dalam kehidupan yang dipenuhi dengan penderitaan (samsara). Karena jiwa yang merindukan Tuhan, akan tetapi berada dalam keadaan terpisah daripadaNya, adalah jiwa yang menanggung penderitaan. Maka agar terlepas dari belenggu penderitaan hidup, dan dapat bersatu dengan Tuhannya, manusiapun akan berjuang untuk membebaskan jiwanya dari keterlibatan rasa yang membelenggu diri. Melalui keenam pengalaman suci yang agung itu ia mulai berpaling dari kepalsuan hidup (maya), dan memasuki kehadiran Tuhan yang tergelar indah dalam kehidupan batinnya. Pada setiap tahap perjalanan berlangsunglah gerakan ganda yang serasi, yaitu kebaktian jiwa (bhakti) dan kekuasaan Tuhan (sakti). Keduanya berlangsung secara pasti dalam keserasian yang indah, karena kerinduan di hati manusia (angga) menyatu dengan wujud kehadiran Tuhan (lingga). Sesungguhnya dalam kesadaran inilah manusia yang teguh berbakti menyaksikan kebenaran hidup yang hakiki, yaitu bahwa esalah Tuhan (siva), yang telah mewujudkan dari dalam dirinya gambar ketuhanan (lingga) dan rupa kehidupan (angga).
Maka inilah keenam tahap pengalaman para sidha pelaku yoga (satsthala siddhanta), yang berawal dari Tuhan dan kembali menuju kepada Tuhan, karena adalah Tuhan yang menjadi dasar dan tujuannya. Sesungguhnya Dia yang dimuliakan di dalam sabda: Aum Sivoham! (Akulah Tuhan!). Dialah hakekat kebenaran yang tertinggi, yaitu sumber yang mewujudkan gambaran diriNya (lingga). Dari dalam gambaranNya itu memancarlah keinginan hidup (istalingga), kehidupan alam (pranalingga), dan perasaan agung (bhavalingga). Kemudian istalingga memancarkan acaralingga, yang membuka daya-perbuatan (kriyasakti), dan gurulingga, yang membuka daya-pengenalan (jnanasakti). Berikutnya pranalingga memancarkan sivalingga, yang mengandung daya-kehendak (icchasakti), dan caralingga yang mengandung daya-asali (adisakti). Sedangkan bhavalingga memancarkan Prasadalingga, yang membuka daya-utama (parasakti), dan mahalingga, yang membuka daya-cipta (citsakti). Maka dari dalam sumber kehidupan yang esa itu terwujudlah pula rupa kehidupan (angga), yaitu jiwa yang menghidupi manusia. Dari dalam rupa kehidupan itu memancarlah penyangkalan diri (tyagangga), kenikmatan hidup (bhogangga), dan kesatuan jiwa (yogangga). Kemudian tyagangga memancarkan kebijakan siswa (bhakta), yang membuka penyembahan diri (sadbhakti), dan kebajikan guru (mahesa), yang membuka ketaatan diri (naistikabhakti). Berikutnya bhogangga memancarkan karunia suci (prasadi), yang membuka penerimaan batin (avadhanabhakti), dan pernapasan lingga (pranalinggi), yang membuka pengalaman batin (anubhavabhakti). Sedangkan yogangga memancarkan penyerahan diri (sarana), yang membuka kedalaman rasa (anandabhakti), dan kehadiran Tuhan (aikya), yang membuka kesatuan rasa (samarasabhakti). Demikianlah melalui gambaran demi gambaran (lingga) semua sisi kehadiran Tuhan dikenali dan melalui tahapan demi tahapan (angga) semua tingkat pengalaman diri di jalani. Sehingga tampaklah curahan karunia Tuhan (krpa), yang mengarahkan agar supaya di dalam kebaktian (bhakti), berkaryalah kuasaNya (sakti), dan di dalam kuasaNya (sakti), berlangsunglah kebaktian (bhakti).
Indah sangat ajaran para guru agung yang budiman dan terpuji namanya. Sebuah pengajaran yang telah ditempa oleh pengalaman dan dilaras oleh pengkajian, sehingga menjadi teruji dalam pembuktiannya. Di dalamnya semua yang berlawanan menyatu dalam kerja-sama yang erat, dan membangun kesadaran jiwa dalam keserasian seluruh unsur pengalaman. Lingga berlawanan dengan angga, lalu kemudian menyatu. Istalingga dan pranalingga berlawanan dengan bhavalingga, hingga membentuk perwujudan karya Tuhan dalam kehidupan yang utuh. Tyagangga dan bhogangga berlawanan dengan yogangga, agar menyusun rangkaian pengalaman yang sempurna. Berbeda gambaran tetapi sama sumbernya, berlawanan arahnya tetapi menjadi terpadu, dan berbagai tahapan tetapi membentuk satu pengalaman. Sesungguhnya Tuhan itu mulia dan amatlah indah kebenaran yang diwahyukanNya!
Maka bangkit dan berjalanlah, agar mampu mengenali diri dan mengalami kehadiran Tuhan. Enam tahapnya yang menunjuk kepada enam tingkat perkembangan. Akan tetapi hendaklah diingat selalu bahwa pada saat yang bersamaan seluruh susunan dapat menjadi sirna, dan kesemua tahap muncul dalam sebuah pengalaman. Karena di dalam tingkat maupun tahap (sthala) terdapat pula semua tingkat dan tahap lainnya. Sehingga makin jelas kini terlihat bahwa mencari pengalaman rokhani bukanlah hasil usaha manusia semata. Semua dan segala sesuatu adalah anugerah dan karunia Tuhan (krpa).
Pada tahap pengalaman bhakta, orang yang berbakti akan beribadah menyembah acaralingga, sehingga membuka daya-perbuatan suci (kriyasakti), yaitu perbuatan Tuhan di dalam kehidupannya.
Pada tahap pengalaman nisthe, orang yang berbakti semakin meningkatkan kepatuhan diri, dalam kerajinan yang penuh keteguhan, agar mampu meningkatkan daya-tahannya di kala menghadapi tantangan, godaan, dan pencobaan.
Pada tahap pengalaman prasadi, orang yang berbakti akan merasakan kedamaian yang berkembang di hati, karena telah sepenuhnya menyadari bahwa dirinya senantiasa berada dalam perlindungan Tuhan. Setelah menyaksikan kehadiran karyaNya di mana-mana, segala miliknya kini dianggapnya sebagai persembahan bagi Tuhan, dan semua tindakannya diperbuatnya sebagai ibadah. Maka keenam inderanya kini tidak lagi menjadi sumber pencobaan, karena telah dipenuhi dengan daya-kekuatan Tuhan. Sekarang hidungnya adalah acaralingga, lidahnya gurulingga, matanya sivalingga, mulutnya jangamalingga, telinganya prasadalingga, dan rasanya mahalingga. Semua indera dan kepekaannya terus menerus bergerak ke arah lingga. Maka oleh karena kehadiran Tuhan di dalam penciuman, pengecapan, penglihatan, persentuhan, pendengaran, dan perasaan manusia yang berbakti, semua tindakannya tidak lagi berada di dalam belenggu ikatan karma. Maka melalui tingkat penerimaan batin (avadhanabhakti), seluruh pengalaman inderanya tentang dunia menjadi persembahan bagi Tuhan. Bahkan semua pengalamannya di atas dunia adalah persembahan bagi Tuhan yang telah bersaksi dalam kehidupannya.
Pada tahap pengalaman pranalinggi, orang yang berbakti akan memperoleh pengalaman batin (anubhava). Setelah menyaksikan Tuhan dalam segala karyaNya di dunia, kini ia menyaksikan Tuhan di dalam dirinya. Hatinya dipenuhi dengan rasa belas-kasihan yang mendalam. Maka bila sebelumnya ia hanya berjuang keras untuk mengendalikan dirinya, sekarang perhatiannya menjadi terpusat ke dalam dirinya. Melalui lingga yang hadir dalam pernapasannya (pranalinggi) hatinya dibersihkan, akal budinya dijernihkan, dan keakuan serta inderanya ditenangkan. Karena telah menyaksikan terang Tuhan di dalam dirinya, hati dan hidup seluruhnya kini menjadi persembahan yang utama bagi Tuhannya.
Pada tahap pengalaman sarana, orang yang berbakti akan selalu dipenuhi oleh gelora perasaan cinta dan mengalami rasa kerinduan yang mendalam kepada Tuhan.
Pada tahap pengalaman aikya, orang yang berbakti akan menyadari bahwa siva dan sakti adalah satu, maka demikian pula sarana dan lingga menjadi satu. Tiada lagi kini penyembahan, karena yang melakukan penyembahan sekarang telah menyatu secara utuh dengan yang menerima penyembahan. Maka dengan berakhirnya penyembahan yang ada ialah Tuhan yang melakukan segala sesuatu bagi kemuliaan namaNya.
Sekarang orang yang berbakti telah sungguh-sungguh menjadi hamba Tuhannya. Maka ketika hatinya tergerak untuk memuji nama Tuhannya itu yang terdengar adalah suara sabda Tuhan sendiri, yang bersaksi di dalam dirinya. Aum Sivoham … gema sabdaNya terdengar menggelar acara suci, dari lubuk hatinya yang terdalam, memenuhi seluruh dirinya, dan akhirnya terwujud di dalam semua perbuatannya. Maka di kala ia bekerja dan berusaha, sesungguhnya itulah kebaktian dan ibadahnya (kayaka). Pekerjaan apapun yang ia lakukan, dan di manapun ia bergiat melaksanakannya, sesungguhnya ia sedang berkarya di dalam kerajaan sorga (kayakave kailasa). Maka di dalam keyakinan hatinya ia adalah hamba bagi tuannya, yaitu Tuhan yang berkarya di dalam dunia melalui dirinya.
Demikianlah uraian ini diakhiri dengan harapan agar dapat menjadi pedoman bagi setiap orang yang membutuhkan. Terpujilah nama Tuhan (siva) untuk selama-lamanya! Saksikanlah tanda kehadiranNya (lingga)! Diberkatilah para hambaNya yang setia (virakta)! Berjayalah Tuhan (isvara) di dalam kehidupan hambaNya (janggama)!
(20/11/1999:7/2:11/08/1932)
Sumber Pustaka:
Ketuhanan dalam Weda (I Made Titib) Speaking of Siva (A.K. Ramanujan)
Elements of the Chakra (Naomi Ozaniec ).
Speaking Of Siva (A.K. Ramanujan)
SATSTHALA SIDDHANTA
jnanaskati adisakti citsakti
power of power of power of
knowing primal supreme
all creativity intelligence
^ ^ ^
Gurulingga Caralingga Mahalingga
& & &
kriyasakti icchasakti parasakti
power of power of ultimate
action will power
^ ^ ^
Acaralingga Sivalingga Prasadalingga
^ ^ ^
Pranalingga Istalingga Bhavalingga
feeling of feeling of feeling of the
desire love Lord
^
LINGGA
creator
^
(Saguna) SIVA (Nirguna)
v
ANGGA
creature
v
Tyagangga Bhogangga Yogangga
renunciation enjoyment union
v v v
Bhakta Prasadi Sarana
devotee the grace the surrendered
or disciple of Lord one
v v v
sad- avadhana- ananda-
bhakti bhakti bhakti
feeling reception bliss
'bhakti'
proper
& & &
Mahesa Pranalinggi Aikya
master the lingga in the one
one's life with the
breath Lord
v v v
naistika- anubhava- samarasa-
bhakti bhakti bhakti
discipline mystical oneness
experience
[Ben Poetica] - [Karya Carita]
|
Copyright©soneta.org
2004
|