PERJUANGAN HIDUP 

 

***************************************************************************************************************************

   

   

   

   

   

    

 

     Peristiwa tragedi berdarah yang terjadi pada tahun 1965-1966 sekarang sudah mulai dilupakan orang, terutama oleh generasi yang tumbuh dewasa atau lahir sesudahnya. Banyak hal sudah terjadi dan menghapus kenangan atas apa yang pada waktu terjadi, atau bisa juga di antara mereka yang mengalaminya tidak lagi ingin mengingat-ingat peristiwa yang menyedihkan itu. Apa yang dapat dibaca, pada buku ataupun artikel yang ada, seringkali diwarnai adanya unsur propaganda. Oleh karena itu dalam rangka merasakan apa yang terjadi di masa itu, terutama dari sudut pandang pelaku peristiwa, ada baiknya bila pengalaman seseorang atau sebuah keluarga, yang kebetulan berada pada pihak yang telah ikut menderita, dapat digali kembali. Sehingga apa yang perlu untuk diketahui tidak akan terbatasi pada pengetahuan sejarah yang  bersifat umum saja, akan tetapi juga dapat dirasakan hingga menyentuh bagian yang terdalam pada hati-nurani manusia. Maka dengan tujuan itulah, andaikatapun bukan untuk tujuan lain yang bersifat pribadi, di sini dikisahkan kembali riwayat hidup seorang tokoh Partai Komunis Indonesia, yang berasal dari Kabupaten Cilacap, Propinsi  Jawa  Tengah.

 

     Berdasarkan hasil pemilihan umum nasional pada tahun 1955 PKI, atau Partai Komunis Indonesia, telah muncul sebagai salah-satu dari empat partai politik yang telah memenangkan suara terbanyak. Dalam sejarahnya partai yang didirikan pada tanggal 9 Mei 1914 sebagai Persatuan Sosial Demokrat Hindia, dan kemudian berubah pada tanggal 23 Mei 1920 menjadi Partai Komunis Indonesia, pada tahun 1926 telah berani melancarkan pemberontakan dan pemogokan besar-besaran terhadap pemerintah kolonial Belanda. Setelah usahanya menemui kegagalan banyak anggotanya yang terbunuh, dipenjara, atau dikirim ke pembuangan. Sehingga sejak itu di antara mereka berlakulah semboyan bahwa setiap anggota Komunis harus berani menanggung hukuman bunuh, bui, dan buang (tiga B) dalam memperjuangkan cita-citanya. Walaupun pada waktu itu telah mengalami pukulan yang berat, PKI kelak akan bangkit kembali. Bahkan lebih dari itu kemudian melahirkan dari rahim semangatnya berbagai organisasi perjuangan yang berciri sosialis kerakyatan. Salah-satu  tokoh  PKI  tua  bernama  Tan  Malaka, yang dipercaya menggantikan  Semaun  pada Kongres Partai pada tahun 1921, dan di kemudian hari ikut mendirikan Partai Murba, sejak awal telah menegaskan bahwa perjuangan golongan sosialis radikal adalah bagian dari perjuangan bangsa Indonesia. Sehingga tidak mengherankan bagaimana dengan dedikasi semacam itu di kemudian hari PKI mampu untuk kembali berkembang dan menjadi partai politik yang berpengaruh. Walaupun pada tahun 1948 namanya sempat menjadi cemar, oleh  karena  peristiwa  pemberontakan  Madiun, menjelang Pemilihan Umum 1955 PKI telah berhasil memulihkan kedudukannya. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya partai tersebut menjadi salah-satu kekuatan sosial-politik yang cukup dominan dalam percaturan politik di Indonesia, khususnya di tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Presiden Soekarno. Pada waktu itu PKI, beserta organisasi-organisasi pendukungnya, bukan saja telah menjadi sangat berpengaruh di Ibu-kota, akan tetapi juga di berbagai daerah di tanah-air, termasuk di Kabupaten Cilacap, Propisi Jawa Tengah. Sejarah mencatat bahwa PKI di Cilacap, dan para pendukungnya, terwakili secara cukup memadai pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II dan berbagai fungsi pemerintah daerah lainnya. Bahkan bupati kepala daerah Cilacap, juga dikenal sebagai simpatisan PKI, dan oleh karena itu setelah pecahnya peristiwa G-30-S sempat berada di tahanan selama 17 tahun. Dengan jumlah pendukung yang cukup banyak, yaitu mulai dari wilayah perkotaan hingga ke daerah pelosok di pedalaman, banyak dari antara para tokoh PKI yang  pantas untuk diperhitungkan peranannya, dalam berbagai kegiatan sosial-politik di masa itu. Salah-satu di antaranya adalah Soekardi, seorang guru yang berasal dari desa Tambak Sari, Kecamatan Sidareja.

 

     Soekardi dilahirkan pada tahun 1923, di kalangan keluarga santri pemeluk agama Islam yang taat, sebagai anak tunggal mua’lim Masnawi. Ayahnya adalah seorang warga pendatang dari daerah Bongkotan, Arjawinangun, Kebumen, yang kabarnya cukup disegani oleh masyarakat di mana ia kemudian menetap. Soetinah, istri Masnawi, juga terkenal pada jamannya, terutama oleh karena kopi racikannya yang digemari banyak orang. Biasanya ia menjual kopi racikan tersebut, bersama telor asin buatannya, di pasar Blundeng Tambak Sari. Akan tetapi juga tidak tertutup kemungkinan bahwa kegiatan penjualannya juga sampai ke pasar-pasar di Kedungreja, atau bahkan Sidareja. Menurut keterangan rumah keluarga Masnawi sangat besar dan selalu berada dalam keadaan bersih, rapih, dan terawat baik, berbeda dengan rumah-rumah di daerah pedesaan pada umumnya. Sejak kecilnya Soekardi dikenal sebagai anak yang pandai, tekun, senang membaca, serius, dan agak bersifat pendiam. Setelah menamatkan pendidikan sekolah  guru di kota Cilacap pada tahun 1939, beliau kemudian menjadi guru pada Sekolah Rakyat di Tambak Sari. Karena dorongan orang-tuanya ia pernah menikah dalam usia yang sangat muda, akan tetapi sebelum sempat menjalani kehidupan berumah-tangga pernikahan itu dibatalkannya. Ternyata Soekardi menaruh hati kepada Nasiti, yang kebetulan menjadi salah-satu pengiring dalam rombongan pengantin, pada hari pernikahan tersebut. Entah bagaimana, akhirnya pada tanggal 20 Desember 1941 Soekardi menikah dengan Nasiti, yang ketika itu baru berusia 16 tahun. Padahal pada awalnya ayahhnya, mua’lim Masnawi, bersikap kurang menyetujui, karena di kala itu  Nasiti bukan termasuk di antara mereka yang rajin menjalankan sembahyang. Dari perkawinan ini kemudian dilahirkan sembilan orang anak, yaitu enam anak wanita dan tiga anak lelaki. Menurut cerita keluarga kalau tidak keguguran anaknya yang ketujuh, maka pasangan ini sebenarnya memiliki sepuluh orang anak. Adapun Nasiti itu sebetulnya adalah adik kawan sepergaulan Soekardi, yaitu Kasiroen Wignjo Soebroto. Ia adalah salah-satu dari delapan orang anak Dawoed dan Tasijem Wongsodikoro, seorang sesepuh masyarakat desa Tambak Sari, yang kediamannya dulu berada di tepi jalan di bagian desa sebelah barat, di sebelah rumah mua’im Masnawi. Seperti besannya Dawoed Wongsodikoro juga berasal dari daerah Kebumen, yaitu dari sekitar Wanasari, Arjawinangun. Namun berbeda dengan keluarga Masnawi yang bercorak santri, pada waktu itu keluarga orang tua Nasiti lebih nampak budaya kejawennya, atau yang umum dikatakan bergaya abangan. Walaupun menurut kesaksian keluarga, kedua orang tua  Nasiti itu juga menjalankan puasa dan sesekali sembahyang, bahkan juga pandai  membaca Al Qur'an. 

 

     Dalam menjalani kehidupan sebagai seorang guru yang pandai dan terpandang   Soekardi dikenal oleh banyak orang. Bahkan hingga saat ini masih sering dijumpai orang-orang yang mengaku pernah menjadi muridnya. Selain mengajar di Tambak Sari, sejak tahun 1942, yaitu bertepatan dengan awal masa pendudukan Jepang, Soekardi juga mulai merangkap sebagai tenaga pengajar di desa Rejamulya. Akan tetapi pekerjaan utamanya sebagai guru kemudian terganggu oleh pecahnya perang kemerdekaan melawan kekuatan militer kolonial Belanda, yang ingin kembali berkuasa di bekas tanah jajahannya. Seperti halnya dengan kawan-kawan dan anggota keluarga lainnya, Soekardi juga ikut menggabungkan dirinya dalam perang gerilya melawan tentara Belanda. Maka dalam masa pergolakan itulah  keluarga besar Wongsodikoro telah kehilangan anak tertua yang dibanggakan, yaitu Soehandar Mangkoeprasadja. Ia gugur tertembak dalam sebuah operasi pembersihan pasukan Belanda, dan kemudian dikuburkan di makam pahlawan Sidareja, yang terletak di Pengkolan Tinggar Jaya. Maka semasa perang kemerdekaan itu Soekardi pernah ditunjuk menjadi camat darurat untuk daerah Kedungreja. Menurut keterangan pada masa-masa itulah pula rekan-rekan seperjuangan yang berasal dari lingkungan PKI, ataupun organisasi-organisasi pendukungnya, mulai menanamkan pandangan politik mereka kepadanya. Sehingga sejak tahun 1949, yaitu ia setelah kembali menjadi guru dan bertugas mengajar di Bumireja, kegiatan-kegiatannya politiknya juga semakin meningkat. Bersama beberapa kawannya, termasuk Soewarto dan Soepriyatno, yang keduanya berasal dari Madiun, Soekardi mulai menghadiri kursus-kursus pendidikan politik  yang diselenggarakan oleh suami istri Ronosoewito. Keduanya adalah pasangan aktivis politik yang berasal dari daerah Sidareja, dan telah cukup lama mengemban tugas-tugas organisasi dan kaderisasi partai di wilayah Kabupaten Cilacap. Dengan dedikasi dan militansi yang tinggi, serta jadwal disiplin yang ketat, bersama rekannya Suyatno mereka menyelenggarakan  kursus-kursus politiknya secara berpindah-pindah, yaitu dari rumah ke rumah dan tempat ke  tempat. Bahkan juga pernah di rawa-rawa persawahan, karena kesulitan mendapat tempat lainnya. Menurut penuturan bapak Soekardi kepada istrinya, di kemudian hari Ronosoewito pindah ke Jakarta, dan masih sempat ikut terlibat dalam pembangunan Gedong Serikat Buruh Kereta Api di Manggarai. Hal ini diketahuinya secara pasti, karena dalam salah-satu kunjungannya ke Jakarta Soekardi pernah bertemu dengan guru politiknya, yang pada waktu itu sudah berusia sangat lanjut. Di kemudian hari banyak kader-kader organisasi binaan suami istri Ronosoewito yang aktif mengembangkan kegiatan politiknya di daerah Cilacap dan  sekitarnya.

 

     Nampaknya oleh karena idealisme perjuangan yang tinggi, akhirnya Soekardi menjadi semakin yakin untuk ikut memperjuangkan nasib rakyat miskin bersama dan melalui PKI. Terutama dan khususnya melalui organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI ), di mana beliau menjadi salah seorang tokoh pimpinannya. Pilihan ini tentu tidaklah mudah, karena banyak di antara kerabatnya, termasuk mertuanya sendiri, yang tidak menyetujui keputusannya. Warna politik yang dikutinya itu dianggap banyak mengandung resiko, apalagi karena daerah Cilacap pernah menjadi salah-satu basis gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) selama beberapa tahun. Padahal mereka merupakan salah-satu golongan politik yang bersikap memusuhi kepada para pendukung PKI. Bahkan menurut cerita keluarga, seorang komandan DI/TII setempat pernah mengeluarkan surat perintah untuk membunuh Soekardi. Karena instruksi untuk menyampaikan surat tidak dipatuhi oleh kurir pembawa surat, akhirnya surat tersebut malah jatuh ke tangan Soekardi. Sehingga iapun lolos dari ancaman pembunuhan itu. Demikianlah selanjutnya, dengan tertumpasnya pemberontakan DI/TII, daerah Cilacap menjadi lebih aman dan kegiatan politik Soekardi menjadi semakin menonjol.          

     Pada tahun 1958 Soekardi membawa pindah seluruh keluarganya dari desa Tambak Sari ke kota Cilacap. Kira-kira sejak tahun itu pula Soekardi mulai menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Cilacap, dari fraksi Tani, setelah sebelumnya menjadi salah-satu fungsionaris penting dalam organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI). Masih segar dalam ingatan istri dan anak-anaknya bahwa pada rumah mereka di kota Cilacap, kelurahan Tambakreja, dulu terpampang sebuah papan nama  organisasi bertuliskan Dewan Pimpinan Cabang~Barisan Tani Indonesia  (DPC-BTI) Cilacap. Bahkan karena kedudukannya yang penting, Soekardi sendiri pernah memimpin rombongan utusan dari wilayah Cilacap pada Kongres Nasional BTI yang diselenggarakan pada tahun 1963. Boleh dikatakan pada tahun-tahun itulah Soekardi mencapai puncak dari perjalanan karir politiknya. Sedemikian rupa hingga salah-seorang anak perempuannya, yang dilahirkan pada tahun 1963, diberinya nama Mulyani. Karena menurut pengertian umum memang ayahandanya itu sedang mengalami kenaikan martabat dalam tugas pengabdiannya. Sebagai anggota Panitia Land-Reform kabupaten Cilacap, Soekardi sangat konsekwen dalam memperjuangkan kepentingan rakyat miskin, khususnya para buruh tani maupun para petani yang tidak memiliki tanah. Menurut keterangan dalam kegiatan ini ia tidak hanya memperjuangkan kepentingan BTI saja, akan tetapi juga bekerja-sama dengan berbagai lembaga swadaya tani lainnya, termasuk yang berasal dari kalangan Marhaen dan Nahdlatul Ulama. Hampir semua kasus pertanahan yang ditanganinya berakhir dengan memuaskan, yaitu di mana beliau dan kawan-kawannya berhasil mengalihkan kepemilikan atas tanah-tanah eks-perkebunan Belanda kepada para petani penggarap yang membutuhkannya. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di tahun-tahun kemudian, ketika seringkali rakyat digusur dari tanahnya, yang terkena pembebasan dengan harga murah, untuk proyek-proyek swasta maupun pemerintah. Pada jaman itu justru tanah dibebaskan untuk kepentingan rakyat oleh Soekardi, beserta rekan-rekannya, yang berjuang dalam ketekunan, kesederhanaan, dan kejujuran diri, serta dengan tingkat dedikasi, militansi, dan kedisiplinan pribadi yang tinggi. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa Soekardi sering-kali dielu-elukan sebagai tokoh pembela kaum tani melarat  yang  miskin. Banyak penghargaan dan tanda terima-kasih telah diterimanya dari mereka yang pernah dibantunya. Petani-petani yang pernah ia perjuangkan kepentingannya kerap-kali mengirimkan sebagian dari hasil panen mereka kerumahnya di Cilacap. Pada tahun-tahun itu acara seminar, ceramah umum, dan kampanye politik tidak akan diramaikan peserta kalau Soekardi tidak hadir di sana. Berbeda dengan rekan-rekan lainnya, yang biasanya berpidato dengan gaya yang berapi-api, Soekardi selalu menyampaikan pokok-pokok pikirannya dengan tenang, sistematis, dan logis. Sehingga apa yang disampaikannya bukan saja tidak menyinggung perasaan siapapun, akan tetapi juga mudah dimengerti oleh para pendengarnya. Maka ia menjadi orang yang disegani, baik oleh kawan maupun lawan, dan dianggap sebagai salah-satu tokoh masyarakat yang terkemuka. Sebagai ukuran ketika menikahkan Rusminah, anaknya yang tertua, banyak tokoh-tokoh masyarakat, termasuk bupati dan pejabat daerah lainnya yang datang untuk memenuhi undangannya. Demikianlah di lingkungan keluarga, kerabat, dan masyarakat luas Soekardi merupakan sosok kepribadian yang sangat dihargai. Ketika memenuhi undangan, untuk menghadiri berbagai acara di lingkungannya, biasanya ia dipersilahkan duduk di tempat yang terhormat. Kenyataan ini masih dapat diingat, walaupun samar-samar, oleh Sumarto, yaitu anak lelakinya yang    saat itu baru berusia empat tahun dan sering diajak ayahnya menghadiri acara-acara undangan. Maryati, seorang anak perempuan Soekardi, yang pada tahun 1965 baru berusia  delapan  tahun, juga  masih  ingat  bagaimana  kedudukan  ayahnya, sebagai  seorang  yang  terpandang  di masa  itu,  sering-kali  membuatnya  merasa  bangga.          

   

     Tentunya ini semua tidak akan pernah tercapai tanpa pengorbanan dan kerja-keras yang sungguh-sungguh. Hampir seluruh waktunya tersita oleh kegiatan sosial-politik atau tugas-tugas kepartaian yang dipercayakan kepadanya. Bila tidak sedang bepergian ke luar kota, atau melaksanakan kewajibannya sebagai anggota dewan, biasanya ia berada di kantor partai, yang biasa disebut Sek-Kom (Sekretariat-Komisariat?). Semakin lama semakin berkurang pula waktu yang dapat disisihkankannya untuk istri dan anak-anaknya, sehingga sering-kali mereka merasa rindu kepadanya. Namun bila lama bepergian tidak lupa Soekardi membeli oleh-oleh berupa permen, ataupun kue-kue penganan, khususnya untuk anak-anaknya. Melihat kedatangan ayahnya biasanya mereka akan menyambut kedatangan ayahnya dengan gembira, dan bergelantungan di lengannya. Maka di antara lain-lainnya, Sumarto yang masih kecil adalah anak yang paling merasa dekat dengan ayahnya. Bila ayahnya sedang di rumah ia hanya mau dimandikan, digantikan pakaiannya, dan disisiri rambutnya hanya oleh ayahnya. Bahkan sering-kali ayahnya terpaksa memenuhi permintaanya sambil meneruskan pekerjaan tulis-menulisnya. Selanjutnya, setiap saat ia dapat berkunjung ke Tambak Sari, maka itulah kesempatan yang langka di mana keluarga Soekardi dapat berkumpul bersama. Menurut keterangan Nasiti, istri Soekardi, karena cukup jauh harus berjalan-kaki, biasanya suaminya menggendong anak-anaknya yang masih kecil, khususnya Sumarto. Apalagi pada musim hujan, di kala jalan desa Tambak Sari pada waktu itu biasanya menjadi sangat becek berair. Tapi memang kesempatan indah seperti ini sangat jarang dapat terjadi. Pada  akhirnya kewajiban dan tugas kerakyatan yang diembannya menjadi hal yang paling utama dalam kehidupannya. Tidak sedikit waktu, tenaga, dan harta yang telah disumbangkankan oleh Soekardi, demi tujuan-tujuan yang dianggapnya luhur. Sehingga sering-kali terjadi bahwa ketika Soekardi dengan suka-rela menyerahkan uangnya bagi kepentingan orang lain, justru Nasiti terpaksa meminta bantuan keuangan dari orang-tuanya di Tambak Sari. Kadang-kala hal ini terasa sangat memberatkan, apalagi pada saat itu Nasiti telah mempunyai sembilan orang anak, termasuk Rusminah, yang bersama Tulus suaminya, masih ikut tinggal di rumah orang-tuanya itu. Bukan hanya sekali dua kali Nasiti mengeluh kepada suaminya tentang keadaan keuangan rumah-tangga mereka. Bahkan di saat sedang merasa kesal ia berani mencela Soekardi yang begitu tekun memperjuangkan agar petani miskin dapat memiliki tanah dan pegawai negeri dapat menerima kenaikan gaji, padahal keluarganya sendiri tidak pernah mendapat apa-apa. Kalau sedang dimarahi oleh istrinya biasanya Soekardi hanya berdiam diri dan tidak berusaha memberikan penjelasan apapun. Tetapi pernah Soekardi terlihat agak kurus dan kelelahan, sekembalinya ia dari acara Musyawarah Besar Tani Indonesia di Jakarta, yang diselenggarakan hanya beberapa bulan setelah Peringatan Ulang Tahun PKI  ke 45, pada tanggal 23 Mei 1965. Pada waktu Nasiti menyampaikan kekuatirannya tentang masa depan keluarga bila terjadi apa-apa kepada suaminya, maka ia memberi nasihat yang mengharukan. Ia berpesan apabila nanti terjadi sesuatu supaya istrinya tetap bersikap tabah dan jangan sampai kehilangan rasa percaya diri. Ketika sambil terus mengomel Nasiti bertanya apa yang harus diperbuatnya dengan sembilan orang anak kalau terjadi sesuatu pada diri suaminya, suaminya memberikan tanggapan yang agak mengherankan. Entah apa yang ada di pikirannya pada waktu itu Soekardi mencoba meyakinkan istrinya bahwa kalau ia tidak dapat merawat istri dan anak-anaknya lagi, kelak ada orang yang akan meneruskan tugasnya. Dari percakapan-percakapan seperti ini nampaknya baik Soekardi maupun Nasiti telah merasa bahwa sesuatu yang tidak diharapkan dapat terjadi sewaktu-waktu. Di samping karena tanggung-jawab merawat anak-anaknya, mungkin adanya rasa kekuatiran itu yang telah membuat Nasiti tidak merasa tertarik pada kegiatan politik suaminya. Sikapnya kepada misi politik PKI tidak pernah bersikap terlalu mendukung, bahkan cenderung mengacuhkan, kalaupun tidak sampai menolaknya. Sehingga ia tidak banyak bergaul di lingkungan kawan-kawan seperjuangan suaminya. Di kemudian hari hal inilah yang rupanya telah menyelamatkan dirinya. Sedangkan mengenai Soekardi, terlepas apakah ia sendiri pernah meragukan garis perjuangan partainya atau tidak, menurut keterangan anaknya yang bernama Suyitno ayahnya pernah berniat untuk mengundurkan diri dari semua kegiatan politiknya di lingkungan PKI dan BTI. Kalau memang benar demikian rupanya ia juga mempertimbangkan rasa kekuatiran istrinya. Apalagi  selama hidupnya ia dikenal sebagai seorang ayah yang sangat menyayangi anak-anaknya. Entah seberapa jauh keseriusan Soekardi mengenai hal pengunduran dirinya itu, akan tetapi perkembangan keadaan akhirnya menempatkan dirinya pada suatu posisi yang kelak akan menyudutkan dirinya. Sehingga apa yang kemudian menimpa dirinya, sesungguhnya memang tidak dapat dihindarkannya lagi. 

 

     Pada subuh pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 di Jakarta telah terjadi penculikan enam orang jenderal dan seorang perwira TNI oleh gerombolan pasukan bersenjata. Dalam peristiwa yang kemudian resmi dikenal dengan istilah Gerakan 30 September (G-30-S) itu para korban penculikan telah terbunuh dan dikuburkan dalam sebuah sumur tua, di daerah Lubang Buaya. Dalam tempo hanya beberapa hari telah berkembang berita bahwa PKI dan para pendukungnya adalah dalang utama yang berada di balik terjadinya peristiwa ini. Di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Cilacap, tentara dan unsur-unsur masyarakat yang menentang PKI bergerak untuk melaksanakan aksi balas dendam. Walaupun di beberapa daerah ada usaha untuk mempertahankan diri, karena kalah dalam persiapan maupun perlengkapan senjata dalam waktu yang relatif singkat para pendukung PKI telah menjadi tercerai-berai. Orang-orang yang hanya beberapa waktu sebelumnya masih dianggap sebagai pembela masyarakat kini diburu-buru sebagai pengkhianat bangsa. Mereka ditangkapi dan digiring ke berbagai tempat penahanan untuk diperiksa. Masih segar dalam kenangan Rusminah betapa tidak enak perasaan hatinya menyaksikan para anggota BTI yang telah ditangkap, diangkut dengan sebuah truk meliwati rumahnya. Mereka semua memandanginya seakan-akan hendak menyampaikan sesuatu atau meminta tolong, tapi tentunya sama-sekali tidak ada apapun yang dapat ia perbuat. Demikian juga apa yang ia rasakan, ketika para anggota BTI lainnya, yang tinggal di penampungan di sebelah rumahnya, datang berkunjung. Karena merasa sebagai anggota organisasi yang dipimpin Soekardi, mereka tentunya ingin bersikap akrab dengan keluarganya. Entah bercanda atau sungguh-sungguh, salah-seorang di antara mereka sempat menyampaikan kepada Rusminah bahwa sebetulnya dulu Soekardi pernah berniat untuk menjodohkan mereka. Adapun mereka yang sering datang ke tempat kediaman Rusminah itu adalah anggota BTI yang sedang menunggu untuk dibebaskan, karena kesalahannya dianggap ringan. Bila kunjungan mereka berlangsung terlalu lama, karena rasa kuatirnya sering-kali Rusminah terpaksa meminta mereka kembali ke tempat penampungan di sebelah rumah. Tapi pengalaman yang jauh lebih berat lagi tentunya dialami oleh anggota keluarga  lainnya, yang  terpaksa meninggalkan kota Cilacap untuk pergi  mengungsi.

 

     Pada suatu malam yang tidak akan pernah terlupakan, dari rumah keluarga Soekardi dapat terlihat  nyala  api menghanguskan rumah-rumah  para  tokoh  PKI  yang  dibakar oleh massa. Setelah rumah-rumah yang letaknya agak ke tengah kota mulai terbakar, massa kemudian bergerak ke arah tempat kediaman mereka. Melihat itu Soekardi sekeluarga terpaksa mengungsikan diri ke rumah salah-seorang tetangganya yang masih termasuk kerabat. Sementara rumah dalam keadaan kosong, massa mengangkut sebagian besar perlengkapan rumah-tangga yang ditemuinya ke jalan dan membakarnya di sana. Barang-kali karena di antara massa pemuda itu terdapat beberapa kawan sekolah Suyatni, anak perempuan Soekardi, rumah mereka tidak sampai dibakar habis. Maka dengan perkembangan keadaan yang telah menjadi semakin tidak menentu dan sangat mengkhawatirkan itu, beberapa hari kemudian Soekardi mengambil keputusan untuk mengungsikan keluarganya. Kecuali anaknya yang keempat, yaitu Suwarno yang diputuskannya untuk tetap tinggal di Cilacap bersama kakak tertuanya yang telah menikah. Dengan menumpang kendaraan truk milik Koperasi Swadaya Gula Kelapa, keluarga Soekardi dan beberapa pengungsi lainnya berangkat menuju kearah utara, yaitu ke arah kampung halaman keluarga di desa Tambak Sari, Kecamatan Sidareja. Dalam perjalanan yang menegangkan itu kurir demi kurir bergerak hilir mudik dari berbagai arah, untuk memberi keterangan tentang perkembangan keadaan. Di beberapa tempat yang agak sepi mereka sempat berhenti untuk beristirahat. Samar-samar masih terbayang dalam ingatan Mulyani, seorang wanita desa yang telah lanjut usia memberinya nasi hanya dengan sambal di atas sehelai daun pisang. Selanjutnya, karena tujuan yang semula tidak lagi dianggap aman, rombongan pengungsi yang sedang berada pada jalan raya Karang Pucung itu akhirnya berhenti di kampung Ciotes, desa Ciloning. Setelah beristirahat beberapa lama di rumah Soenarsih, seorang anggota Gerwani setempat, keluarga Soekardi kembali meneruskan pelariannya ke dataran tinggi Cisagu. Soekardi bergerak menuju ke arah Gunung Wilis, sedangkan istri dan anak-anaknya ke sekitar desa Karanggedang dan desa Penyarang. Pesan terakhir Soekardi, sebelum berpisah dengan keluarganya, ialah supaya setiap anggota keluarga berusaha menyelamatkan dirinya masing-masing. Supaya apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan jangan hendaknya sampai menimpa seluruh anggota keluarga. Demikianlah Nasiti beserta anak-anak yang menyertainya kemudian berangkat menuju ke tempat yang telah ditetapkan suaminya. Berhari-hari mereka berjalan-kaki menempuh perjalanan mendaki yang cukup jauh, sehingga dalam kelelahan terpaksa menginap di rumah-rumah penduduk yang dapat dianggap aman. Dengan bantuan kurir dan penunjuk-jalan mereka selalu berhasil menghindari patroli tentara, dengan mengambil jalan-jalan setapak yang jarang digunakan orang. Nasiti sendiri menggendong anak bungsu yang baru berusia tujuh bulanan dan masih disusuinya. Barangkali ketika merasa kelelahan keduanya anaknya yang lebih besar, yaitu Suyatni dan Suwarti, juga bergantian menggendong adik terkecil mereka itu. Sementara Suyitno, anak yang ketiga, memanggul di pundaknya Sumarto, yaitu anak ketujuh yang baru berusia empat tahun. Maryati, anak yang keenam, berjalan sendiri, karena pada usia delapan tahun kakinya sudah agak kuat. Sebagai anak kecil yang lincah dan ceria, sambil berjalan ia terus-menerus menyanyikan lagu-lagu dolanan Jawa, sampai kadang-kala dimarahi oleh Suyitno, kakaknya yang sedang kelelahan dan dipenuhi rasa tegang. Akhirnya dalam keadaan yang sangat letih Nasiti dan anak-anaknya tiba di tempat tujuan, dan merekapun disebar untuk ditampung di rumah-rumah para petani desa yang bersimpati kepada perjuangan kelompok Soekardi. Dalam rangka  menghilangkan jejak, selain harus tinggal di gubuk-gubuk sederhana, mereka semua juga terpaksa mengenakan pakaian yang sederhana, sebagaimana layaknya  anak-anak desa pada jaman itu. Walaupun dengan berat hati Suwarti akhirnya malah terpaksa merelakan tas miliknya untuk dipendam di tanah untuk selamanya. Maka dalam keadaan yang sangat memprihatinkan itulah sangat nampak kesetiaan penduduk desa yang telah bersedia menampung mereka. Bila sewaktu-waktu datang tentara dan bertanya-tanya apakah ada pelarian di tempat itu, dengan serta-merta seluruh penduduk menutup-nutupi tentang keberadaan keluarga Soekardi di sana. Akan tetapi tetap saja kadang-kala Nasiti merasa ketakutan, khususnya ketika Suwarti bersama anak-anak desa lainnya berjalan ramai-ramai mengikuti rombongan prajurit yang sedang berpatroli. Mereka senang bercampur kagum menontoni para prajurit menembaki buah-buahan di pohon dalam keisengannya. Sejak perpisahan di Ciloning, komunikasi di antara Soekardi dan istri serta  anak-anaknya  terpaksa lebih sering dilakukan melalui kurir, karena sangat berbahaya sekali bagi dirinya untuk  setiap saat datang sendiri menemui keluarganya. Memang sebelum keadaan menjadi sangat rawan pernah beberapa kali ia datang untuk menemui istri dan anak-anaknya. Bahkan dalam salah-satu kesempatan pernah seorang kurir datang menjemput Nasiti untuk menemui Soekardi di desa Cilopadang, yaitu  sebuah desa yang berada di daerah yang lebih tinggi lagi. Di sana Soekardi membawa istrinya ke sebuah rumah kayu yang kokoh, besar, dan luas, serta memperkenalkannya kepada pemilik rumah tersebut. Ia mengisahkan bahwa di tempat itulah pernah diselenggarakan Konperensi Staf Kabupaten Cilacap, semasa masih berlangsungnya perang gerilya melawan Belanda. Sebagai Camat darurat untuk daerah Kedungreja ia juga menghadiri rapat tersebut dan menginap di sana. Setelah beberapa saat sepasang suami-istri itu kemudian berpisah dan kembali menuju ke tempat persembunyiannya masing-masing. Di samping itu, menurut penuturannya sendiri Sunarno, yaitu anak lelaki yang ditinggal di Cilacap, pernah menegok ayahnya di tempat persembunyiannya di Gunung Wilis. Ia berangkat ke sana bersama Tulus, kakak iparnya, mengikuti petunjuk yang diberikan melalui kurir. Setelah meliwati beberapa lapisan pengamanan akhirnya ia dapat menjumpai ayahnya. Ketika mereka bertemu ia dirangkul oleh ayahnya, dan ditanya bagaimana kabarnya. Tetapi selain itu tidak banyak yang disampaikan oleh ayahnya. Masih segar dalam ingatannya bagaimana dari ketinggian terlihat di dataran Sidareja kepulan asap rumah warga masyarakat yang dibakar, karena tuduhan terlibat dalam kegiatan PKI. Demikianlah perjumpaan yang pada waktu itu masih mungkin untuk dilakukan, walaupun harus dengan penuh kehati-hatian. Ketika beberapa waktu kemudian keadaan menjadi semakin gawat, kesempatan semacam ini hampir tidak pernah ditemukan lagi.

 

     Setelah beberapa lama berada di tempat persembunyian yang terpencil itu, akhirnya beberapa anak ibu Nasiti yang sudah besar mulai merasa bosan dan jenuh. Terutama Suyatni dan Suwarti yang karena sudah besar mulai merengek mengajak ibunya untuk turun gunung. Kira-kira pada tanggal 5 November 1965  entah apa penyebabnya Nasiti mulai merasakan kegelisahan di hati. Sesuatu yang tidak diketahui dari mana datangnya seakan-akan memberinya isyarat bahwa sesuatu hal telah terjadi atas diri suaminya. Karena berat menahan rasa ketidak-pastian yang memenuhi hatinya, akhirnya Nasiti memutuskan untuk membawa anak-anaknya meninggalkan tempat persembunyian mereka selama ini. Resiko apapun sekarang harus dihadapi, dan bahaya apapun yang mungkin mengancam kini tidak akan dihindarkannya lagi. Sesuai dengan firasat yang telah diterimanya, seorang kurir yang dijumpai di perjalanan memberitahukan bahwa Soekardi telah tertangkap. Menurut berita ia tertanggap ketika sedang menghadiri acara kenduri Satu Sura. Namun demikian tidaklah jelas apakah hal ini terjadi secara kebetulan atau oleh karena pengkhianatan seseorang. Demikian pula setibanya rombongan di desa Tinggar Jaya istri lurah Marko menyampaikan bahwa memang Soekardi dan beberapa tokoh lainnya telah tertangkap dan ditahan di kantor polisi Sidareja. Maka setelah menyerahkan diri kepada pihak yang berwajib Nasiti kemudian ditahan dan dibawa ke Sidareja, sedangkan anak-anaknya diperbolehkan pulang ke Tambak Sari. Karena masih harus menyusui anak bungsunya yang masih bayi, maka Nasiti diijinkan membawanya serta. Selama kurang-lebih seminggu Nasiti berada di kantor polisi Sidareja, akan tetapi tanpa memperoleh kesempatan untuk dapat menjumpai suaminya. Entah apa yang masih menjadi harapan di hatinya, tetapi kalaupun ia mengharapkan keselamatan diri suaminya maka hal itu tidak akan menjadi sebuah kenyataan. Pada subuh hari pukul 03.00 pagi, tanggal 12 November 1965, Nasiti dibangunkan oleh seorang petugas untuk menerima sebuah berita duka. Ketika itu sadarlah Nasiti bahwa kini suaminya sudah tiada lagi. Apalagi petugas itu kemudian memberinya tiga perangkat perlengkapan, yang masing-masing terdiri dari sehelai sarung, baju, dan handuk. Pada tiap perangkat itu dilekatkan nama pemiliknya, yaitu Soekardi (Barisan Tani Indonesia), Soenardi (Persatuan Pamong Desa Indonesia), dan Soewandi (Pemuda Rakyat Tinggar Jaya). Karena disuruh memilih maka kemudian diambilnya perangkat dengan nama suaminya. Dalam kesempatan itu petugas tersebut juga menjelaskan dengan nada sesal bahwa apa yang telah terjadi adalah berdasarkan perintah dari pusat, sedangkan mereka yang diberi tugas hanyalah sekedar menjalankan tugas. Oleh sebab itu dimintanya Nasiti untuk sabar dan tidak mendendam, khususnya bila nanti telah kembali ke tengah masyarakat. Menurut keterangan yang kemudian dapat diperoleh dari sumber lain, Soekardi dan kedua rekan seperjuangannya itu telah dibawa pada pukul 20.00 malam untuk diakhiri hidupnya, yaitu hanya beberapa jam sebelum Nasiti dibangunkan oleh petugas tahanan. Sebelum terjadinya peristiwa ini pada pukul 16.00 sore Suyatni sempat datang untuk menengok ayahnya dengan membawa makanan, tetapi ia hanya dapat melihat dari kejauhan melalui sebuah lubang pada dinding sel tahanannya. Selanjutnya, walaupun suaminya telah tiada, dan oleh karena itu bukan lagi merupakan ancaman bagi siapapun, penderitaan Nasiti ternyata belum akan berakhir. Pada tanggal 12 November tahun 1965 itu juga ia bersama anaknya yang masih menyusu di bawa ke Lembaga Pemasyarakatan Cilacap, untuk ditahan dalam rangka pemeriksaan lebih lanjut. Alasan utama yang diterimanya ialah karena Soekardi merupakan salah-satu tokoh PKI, bukan hanya anggota partai biasa. Di sanalah ia bertemu dengan banyak istri tokoh-tokoh partai yang mengalami nasib serupa. Terutama ibu Nurdjito, istri salah-satu tokoh PKI dari Kroya. Hanya beberapa bulan sebelumnya pernah terjadi sebuah percakapan di antara mereka, yaitu ketika menyaksikan peringatan ulang-tahun partai, yang dilaksanakan dengan meriah di halaman Kabupaten, lengkap dengan berbagai tontonan dan jenis keramaian lainnya. Pada waktu itu Nasiti mengatakan dengan nada sesal bahwa hal semacam ini tidak akan terjadi pada jaman para bupati ningrat dulu. Dengan perasaan yang serupa Nurdjito mempertanyakan apakah kiranya semua ini akan langgeng. Ternyata bukan hanya tidak langgeng, malah mereka berdua juga harus ikut mengalami penderitaan di rumah tahanan. Tidur di atas lantai dengan hanya beralaskan tikar, dan makan seadanya sesuai dengan apa yang diberikan, supaya dapat menyambung hidup. Demikianlah selama empat-belas bulan berikutnya Nasiti berada di tempat itu dan dari waktu ke waktu terpaksa mengikuti proses pemeriksaan atas dirinya. Karena memang ia sendiri bukan seorang anggota partai, dan tidak tahu menahu tentang kegiatan politik suaminya, maka tidak banyak yang dapat ia ceritakan kepada para petugas yang memeriksanya. Selama masa yang penuh keprihatinan itu sering-kali Nasiti mendapat keringanan dalam pemeriksaan karena bantuan bapak Wedana Cilacap, yang pernah juga menjadi anggota Panitia Land-Reform bersama Soekardi. Rupanya dukungan simpati seperti itulah yang telah membuat Nasiti mampu untuk menjalani hari-harinya penahanannya dalam kesabaran. Namun demikian ketika pada suatu saat diputuskan bahwa para tahanan wanita akan dipindah ke Lembaga Pemasyarakatan di Ambarawa, maka baik Nasiti maupun keluarganya merasa sangat berkeberatan. Rusminah, putri Nasiti yang tertua, dalam keadaan hati yang sangat galau meminta bantuan seorang kenalan keluarga yang bernama Sriningsih. Maka pada suatu hari yang telah ditentukan datanglah ia ke rumah Sriningsih itu, untuk menjumpai seorang anggota militer dari Kodim Cilacap yang bernama Muhas. Sambil menangis ia memohon bantuan kepadanya agar ibunya diberi keringanan, sehingga tidak harus dipindah ke Ambarawa. Mengingat adanya seorang adik yang masih kecil dan keadaan keluarga yang tidak memungkinkan untuk dapat sering datang menengok ibunya. Karena merasa kasihan Muhas hanya berpesan akan mencoba menolong, namun demikian semua bawaan ibunya, termasuk bedak dan perlengkapan lain anaknya, hendaknya tetap disiapkan supaya nantinya  tidak kerepotan andaikata ia terpaksa tetap harus ikut berangkat ke Ambarawa. Barangkali memang sudah nasib baik Nasiti dan keluarganya, dan juga karena memang selama pemeriksaan tidak terbukti bersalah, akhirnya namanya yang berada dalam daftar dicoret dengan tinta merah. Atas bantuan Muhas, dan pertolongan Wedana beserta petugas penjara yang bernama Mukhlis, permohonan keluarga Nasiti dikabulkan. Setelah itu masih beberapa lama lagi Nasiti dan anaknya berada di Lembaga Pemasyarakatan Cilacap, yaitu hingga permohonan keluarganya untuk perlakuan yang lebih ringan dapat disetujui. Pada suatu hari di bulan Januari tahun 1967 Nasiti dan anak bungsunya meninggalkan Lembaga Pemasyarakatan, yang telah ditinggalinya selama beberapa waktu ini, untuk dipindah kepenampungan di Gedong Baperki, Sidareja. Anak bungsunya yang selama ini berada bersamanya, dan sering-kali digendong-gendong oleh para  tahanan wanita dan para penjaganya, sekarang telah berumur dua tahun kurang dua bulan. Walaupun harus mengalami awal kehidupan yang penuh keprihatinan, karena telah kehilangan ayahnya dan terpaksa ikut ibunya di rumah tahanan, di kemudian hari anak bungsu Soekardi dan Nasiti bertumbuh menjadi seorang yang rajin, cerdas, lincah, cantik, dan berkepribadian menyenangkan (08/12/1999, ditulis 11/12/1999 dan 12/12/1999).

 

     Namun demikian penderitaan dan keprihatinan Nasiti sekeluarga tidak serta-merta berakhir. Walaupun anaknya yang tertua telah ikut suaminya, ia sendiri masih harus memikirkan tentang ke delapan anak lainnya. Beruntung kedua orang-tuanya masih mau menampungnya, terutama dan khususnya ayahanda Dawoed Wongsodikoro yang selalu bersikap membela. Bahkan pada hari-hari yang sangat sulit ketika itu beliaulah yang memikirkan tentang cucunya, yaitu anak Nasiti yang untuk sementara ditinggal di kota Cilacap, dan harus sering ditengoknya. Padahal pada waktu yang bersamaan seorang anaknya yang lain, yaitu Soeparti, juga telah kehilangan Moeljono, suaminya. Sebagai seorang seorang guru yang menjadi anggota PGRI (Non Vak Central) suaminya itu telah dituduh sebagai anggota PKI. Menurut cerita keluarga setelah ditahan beberapa lama Moeljono juga ikut terbunuh dan kemudian dikuburkan secara massal di dekat Perkebunan Karet, di kampung Cisuru, desa Cipari, Kecamatan Sidareja. Adapun bagi Nasiti sendiri tahun pertama setelah ia dibebaskan dari penjara Cilacap adalah masa-masa yang sangat sulit. Setelah satu bulan ia tinggal di penampungan, atas jaminan ayahnya Dawoed Wongsodikoro, permohonan agar kepadanya dapat dikenakan tahanan luar disetujui oleh pihak yang berwajib. Pada awalnya ia harus datang setiap hari untuk menghadiri apel di Kedungreja. Setelah berjalan beberapa waktu kewajiban apel harian yang dikenakan kepadanya dirubah menjadi apel mingguan, hingga kemudian dirubah lagi menjadi apel bulanan. Akan tetapi setelah berjalan beberapa lama apel bulanan itu dirubah lagi menjadi apel harian, yaitu setelah ditangkapnya komandan rayon militer Kedungreja, karena dituduh sebagai simpatisan PKI. Tetapi untunglah setelah sekali lagi dirubah menjadi apel harian, kewajiban itu akhirnya dicabut, yaitu setelah keadaan menjadi aman. Sebelumnya para sisa tahanan itu diminta menghadiri acara penyuluhan, di mana telah disampaikan pula pesan supaya dalam Pemilihan Umum yang akan datang memberikan suaranya kepada Golongan Karya. Adapun sehubungan dengan masalah tahanan politik pada waktu itu, banyak berkembang cerita yang memuakkan dan bahkan mengerikan. Terutama dan khususnya mengenai apa yang telah menimpa para anggota Gerwani dan istri, adik, maupun anak-anak wanita para anggota PKI lainnya. Godaan dan rayuan yang bersifat sedikit memaksa, untuk melayani keinginan para pejabat dan anggota militer, sering-kali mereka alami. Belum lagi terjadinya pemerasan, baik secara halus maupun terbuka, yang meludaskan uang maupun harta-benda keluarga para tahanan. Beruntung bagi Nasiti, dan tentunya Suparti, karena salah-satu saudara perempuan mereka yang bernama Kamarijah telah menikah dengan seorang seorang anggota Brigade Mobil Polisi. Saudara ipar yang bernama Darmono inilah yang dengan keras pernah mengingatkan rekan-rekannya agar keluarganya jangan diganggu. Selain daripada itu, seakan-akan untuk menambah penderitaan Nasiti, juga ada saudara-saudaranya sendiri yang kurang menyukai kehadiran dirinya maupun anak-anaknya di rumah ayahanda Dawoed Wongsodikoro. Barangkali ada kekuatiran bahwa kehadiran mereka akan menghabiskan harta milik keluarga. Beruntung bahwa dalam menghadapi itu semua Dawoed Wongsodikoro selalu bersikap membela. Kepada anaknya ia selalu berpesan supaya tetap sabar dan jangan sampai berbalik membenci mereka yang melecehkannya. Sehingga apa yang harus dialaminya itu tidak berkembang menjadi persoalan keluarga yang berlarut-larut. Dengan modal yang terbatas, termasuk dari hasil penjualan rumah di Cilacap dan sisa perhiasan miliknya, Nasiti mulai menjalani kehidupannya yang baru. Pada tahun 1968, ketika masih berada dalam status sebagai tahanan luar, Nasiti menikah untuk kedua-kalinya. Suami pilihannya adalah Mardjoeni, yang mengaku kepada bapak Koesmiran, adik Nasiti, bahwa dirinya akan merasa bangga bila dapat mempersunting kakak perempuannya itu, dan oleh sebab itu iapun rela untuk menerima semua anak-anaknya. Rumah-tangganya yang kedua ini berlangsung cukup lama, yaitu sampai Mardjoeni meninggal dunia pada tahun 1990. Entah karena apa selama menikah dengan suaminya yang kedua Nasiti tetap disebut orang ibu Soekardi, seperti dulu ketika ia masih menjadi istri almarhum Soekardi. Demikianlah perlahan-lahan Nasiti kembali menata kehidupannya, tentunya dalam keadaan yang jauh lebih berkekurangan daripada ketika Soekardi masih hidup. Apalagi sejak tahun 1973 ia kehilangan ibunya, yang kemudian juga disusul oleh ayahnya pada tanggal 25 Desember 1976. Maka semakin lebih keras ia harus berusaha untuk menjadi mandiri di dalam kehidupan keluarganya. Berbagai usaha telah ditempuhnya untuk menyambung hidup dan membesarkan anak-anaknya. Dengan dibantu oleh ketiga anak perempuannya yang termuda ia pernah membuka warung di depan rumahnya, yaitu ketika proyek bendungan Manganti sedang dibangun, tidak jauh dari desa Tambak Sari. Rupanya karena mereka berwajah menarik warung tersebut menjadi cukup laris. Demikian pula kedua anak perempuannya yang termuda, dan Sumarto, anaknya yang lelaki, pernah ditugasinya untuk berjualan es batu, beras, minyak tanah, dan beberapa kebutuhan dapur lainnya di pasar Tambak Sari. Bahkan anak bungsunya, yang dulu bersama dengannya di rumah tahanan, pernah sampai berkeliling dengan gerobak dorongnya untuk menjajakan es limun. Berbagai daya dan upaya lainnya pernah dilakukan dalam rangka menyambung hidup, termasuk memelihara dan membesarkan babi untuk dijual setelah cukup umurnya. Nasiti sendiri bahkan tidak segan-segan untuk berusaha menggandakan uang simpanannya dengan cara-cara yang di luar kebiasaan. Termasuk misalnya membayarkan uang pertanggungan rombongan pemain judi putar dari Tambak Sari, yang berangkat naik mobil carteran untuk mengadu nasib di tempat perjudian rakyat di kota Ciamis, Jawa Barat. Sementara para penjudi mencoba keberuntungannya, semalam suntuk Nasiti menunggui mereka di tempat itu. Seusainya acara Nasiti akan memperoleh uang pertanggungan miliknya, ditambah dengan persentase tertentu dari rekan-rekan rombongan penjudi yang diikutinya. Sekali dua kali hampir saja Nasiti ikut tertangkap, ketika polisi melakukan penggerebekan. Tetapi untunglah nasib baik masih menyertainya, sehingga dalam salah-satu penggerebekan ia dapat meloloskan diri dengan bersembunyi di kamar kecil. Maka dari hasil usaha penggandaan uang inilah akhirnya ia mampu untuk membangun sebuah rumah desa yang sederhana, akan tetapi cukup luas ukurannya. Sementara itu satu persatu anak-anaknyapun berhasil menamatkan sekolahnya, beberapa di antaranya bahkan hingga mencapai tingkat sarjana. Biasanya yang lebih dahulu menamatkan pendidikannya kemudian ikut membantu biaya sekolah adik-adiknya. Adapun di dalam merawat dan menyekolahkan anak-anaknya itu, Nasiti juga pernah dibantu oleh adik-adiknya.  Khususnya pada waktu ia masih berada dalam tahanan Suyatni, Suyitno, dan Maryati pernah ikut menetap di rumah Suparti. Demikian pula setelah menamatkan Sekolah Menengah Atas-nya Suyatni kemudian sempat ikut selama beberapa waktu dengan keluarga Nasijah, bibinya. Sedangkan anak bungsu Nasiti juga pernah ikut dan disekolahkan oleh Kamarijah dan suaminya, yang perjalanan hidupnya di Ujung Pandang cukup berhasil. Akan tetapi yang paling banyak membantu keluarga Nasiti adalah Koesmiran, yaitu adik lelaki Nasiti yang usahanya berkembang maju di Jakarta. Ini semua tentunya telah turut meringankan beban yang harus dipikul oleh Nasiti. Demikianlah  setelah  hampir semua  anak-anaknya mulai bekerja dan berkeluarga, beban tanggung-jawabpun Nasiti semakin berkurang. Sekarang ia tinggal menjalani hari tuanya di antara anak-anak, cucu, dan cicitnya, yang semuanya masih sangat membutuhkan kehadirannya. Kalau saja dari alam baka Soekardi dapat menyaksikan perjuangan hidup yang telah ditempuh oleh istri dan anak-anaknya, tentulah ia akan merasa bangga dan berbahagia (14/12/1999).  

 

     Selama tiga puluh tahun lebih baik Nasiti maupun anak-anaknya sama sekali tidak mengetahui di mana jasad Soekardi dikuburkan. Hanya sedikit demi sedikit akhirnya dari beberapa keterangan yang telah dikumpulkan kemudian dapat diperoleh  gambaran yang semakin jelas. Pada waktu masih menjadi seorang siswa di SMP Kristen Sidareja Suyitno pernah mendengar tanpa sengaja seseorang yang bernama Soebandi bercerita tentang peranannya peristiwa terbunuhnya Soekardi, yang kebetulannya dulu juga pernah menjadi gurunya. Sedangkan Suwarti juga pernah diberi-tahu oleh seorang kerabat yang dipanggilnya bapak gede (paman) di Penyarang bahwa kuburan ayahnya berada di sekitar daerah Tanggek. Selanjutnya Nasiti sendiri juga pernah mendengar dari nyonya Prijonggo, yaitu istri almarhum Soewandi dahulu, bahwa suaminya yang pertama itu telah terbunuh dan dimakamkan bersama Soekardi dan Soenardi. Demikian pula mantan istri almarhum Soenardi, yang sekarang telah menjadi istri Soedjono, pernah menjelaskan kepada Suyatni bahwa berdasarkan keterangan mantan petugas koramil Sidareja, yang bernama Soekarman, ayahnya dulu terbunuh bersama almarhum Soewandi dan Soenardi. Menjelang akhir kehidupannya mereka bertiga telah digiring dari kantor polisi Sidareja ke lokasi Unur Gede, di daerah Tanggek, wilayah desa Kunci, Kecamatan Sidareja, di mana mereka kemudian ditembak dan dikuburkan dalam satu lubang. Pada waktu itu beberapa warga masyarakat dari kota Sidareja dan kampung Cikalong juga sempat menyaksikan atau bahkan ikut ambil bagian. Maka dari beberapa orang di antara mereka itulah keterangan tentang peristiwa tersebut telah didapat secara tidak langsung oleh keluarga para korban. Demikianlah berdasarkan apa yang dapat diketahui itu Nasiti dan beberapa anggota keluarganya kemudian menyempatkan diri untuk mengunjungi lokasi tersebut. Lokasi Unur Gede, yang letaknya berada di luar areal pemakaman Tanggek, merupakan sebidang tanah berbentuk setengah lingkaran, dengan ukuran yang tidak terlalu luas. Di sebelah utaranya lokasi tersebut dikitari dengan sebuah kali kecil yang bentuknya agak melingkar, sedangkan di sebelah selatannya dibatasi dengan sebuah jalan desa. Pada tahun 1965 tempat itu merupakan sebidang tanah kosong yang letaknya agak  terpencil. Setelah dikuburkannya almarhum Soekardi dan beberapa rekannya di sana, bidang tanah itu kemudian juga digunakan sebagai kuburan oleh penduduk di sekitarnya. Dalam kunjungannya yang pertama keluarga Nasiti telah beruntung dapat menjumpai seorang petani yang usianya telah cukup lanjut, dan mengaku juga mengetahui tentang penembakan para tokoh PKI di tempat itu pada tahun 1965. Orang itu bernama Soemadji dan tinggal serta beralamat di RT 04/ RW 06, kampung Cikalong. Ia menunjukkan sebuah makam yang sekarang ini ditandai sebuah nisan sederhana dengan nama Madrohi. Menurut keterangan Soemadji di bawah gundukan makam Madrohi, yang telah dibuat kemudian, terdapat lubang pemakaman yang berukuran lebih besar dan memuat tujuh jenazah korban penembakan. Hingga saat ini barulah keluarga almarhum Madrohi dari desa Tinggar Jaya yang telah terpanggil untuk membuat sebuah nisan di atas makam bersama itu. Atas permintaan keluarga Nasiti, Soemadji kemudian mencari seorang saksi mata lainnya yang bernama Kartidjo. Ia menjelaskan bahwa dirinya hanya mengetahui tiga orang dari mereka yang telah dikuburkan bersama di makam tersebut, yaitu penatus dari Cinangsi, serta Soewandi dan Koewat Madrohi, yang keduanya berasal dari Tinggar Jaya. Menurut ingatan Nasiti sendiri dulu almarhum Koewat Madrohi adalah salah seorang pengurus Koperasi Swadaya Gula Kelapa yang sering datang untuk menemui Soekardi. Selanjutnya baik Soemadji maupun Kastadja menegaskan pula bahwa di seluruh kawasan Tanggek hanya di lokasi Unur Gede inilah pernah dikuburkan tokoh-tokoh PKI pada tahun 1965. Maka berdasarkan hal-hal yang sesuai, dari beberapa keterangan yang telah dapat dikumpulkan selama ini, misalnya tentang lokasi di Tanggek dan identifikasi almarhum Soewandi, keluarga Nasiti mengambil kesimpulan bahwa di sinilah Soekardi telah gugur dan dikuburkan. Dengan demikian dari ketujuh jenazah yang dikuburkan di situ masih ada dua orang yang belum diketahui namanya. Maka di tempat itulah dengan dipimpin oleh Suyitno, anaknya, Nasiti sekeluarga kemudian menyatukan hati untuk memanjatkan doa, dengan penuh rasa haru dan air mata kerinduan. Semuanya itu berlangsung dalam suasana batin yang teduh tanpa ada rasa marah ataupun benci. Karena kini almarhum Soekardi sebagai seorang tokoh pergerakan telah dikembalikan kepada sejarah masa lalu yang tidak akan pernah terulang. Walaupun sebagai seorang ayah yang baik ia akan tetap hidup selama-lamanya di hati anak-anak yang telah ia cintai semasa hidupnya  (07/12/1999, ditulis 11/12/1999).

 

     Sebagaimana tersirat dalam hati di tengah perjalanan antara Butuh dan Prembun, sesungguhnya seorang ibu yang terpuji itu selalu berusaha untuk membesarkan hati anak-anaknya. Entah dengan kata-kata ataupun dengan perbuatannya, seorang ibu senantiasa mendorong anaknya agar tidak merasa ragu dalam menjalani panggilan hidupnya (06/12/1999). Bagi semua anak keturunan Soekardi, kehadiran seorang ibu yang tangguh dan berhati tegar telah memainkan peranan yang penting, khususnya setelah gugurnya ayah mereka. Oleh karena ibu yang berhati setia kepada anak-anaknya itu, maka di antara anak-anaknyapun tertanam semangat persaudaraan yang kuat dan mampu untuk mempersatukan seluruh anggota keluarga dalam kerukunan. Memang tidak dapat disangkal bahwa banyak pula kerabat dan sahabat yang telah berjasa memberikan bantuan, pertolongan, dan perhatian dengan tanpa pamrih. Akan tetapi adalah kehadiran seorang ibu yang tahan menderita itu sendiri yang telah membuat anak-anaknya bersikap berani dalam menghadapi keprihatinan hidup. Kehilangan seorang ayah yang terpandang, dan keadaan berkekurangan yang menjadi akibatnya, sama-sekali tidak membuat anak-anak Soekardi menjadi patah semangat dan putus asa. Dalam rasa kebersamaan yang tinggi mereka giat berusaha untuk maju dalam hidup. Bukannya menjadi kalah oleh karena keadaan yang kurang mendukung, mereka bahkan telah mampu untuk menggunakan keadaan apapun sebagai pemacu diri yang utama. Sebagaimana telah dicontohkan oleh ibunya, mereka rela untuk meninggalkan peristiwa masa lalu yang menyedihkan sebagai bagian dari sejarah, dan menerima perjalanan hidup selanjutnya secara apa adanya. Dengan ketabahan hati mereka telah menerima hidup sebagai penderitaan, akan tetapi juga sebagai sebuah perjuangan untuk mengatasi penderitaan itu sendiri. Oleh sebab itulah mereka tetap mampu untuk merasakan kegembiraan hidup, dan bahkan tertawa dalam keadaan apapun. Barangkali oleh karena itu pula banyak orang yang menyukai mereka, dan melalui hubungan pribadi yang erat belajar dari pengalaman hidup mereka. Maka dalam pengertian itulah kehidupan dan kematian Soekardi dapat dianggap sebagai warisan hidup yang tiada ternilai harganya, dan jauh lebih berarti daripada harta yang mungkin dapat diberikan akan tetapi tidak pernah ditinggalkannya. Dalam pemahaman yang serupa sesungguhnya keteladanan seorang ibu yang baik itu pula yang telah menjadikan warisan ayah mereka sebagai sesuatu yang hidup dan nyata. Sesuai dengan amanat almarhum Soekardi kepada istrinya dahulu, ketabahan dan kesabaran hati adalah sumber kekuatan dan kepercayaan diri yang besar. Sedangkan kepercayaan diri yang besar itu adalah awal dari bertumbuhnya keyakinan akan hidup, yaitu hidup yang di dalamnya mengandung berbagai karunia dan rakhmat kehidupan. Maka hidup seperti itu adalah hidup yang memberi jalan, membuka peluang, dan mendatangkan kesempatan. Sebuah perjalanan dengan pandangan hidup yang mampu untuk merubah kejatuhan menjadi kebangkitan dan keterpurukan menjadi keberdayaan. Sehingga dalam penghayatan yang utuh akan makna kehidupan itu sendiri sesungguhnya hidup adalah sebuah karunia yang sangat berharga. Hidup adalah sebuah anugerah yang harus selalu dipelihara, dikembangkan, dan dimenangkan. Supaya hidup yang dijalani dengan baik dapat menjadi berguna dan mempunyai arti, karena tidak akan pernah dibiarkan untuk berlangsung dalam kesia-siaan. Maka di dalam keyakinan diri yang utuh,  kehidupan yang ada akan selalu diterima sebagai berkat, dan dijalani dengan baik agar juga  dapat menjadi berkat. Dengan demikian siapapun almahum Soekardi itu, dan bendera apapun yang dulu diperjuangkannya selama ia hidup, apabila ia telah hidup dalam rangka menghidupi sesamanya, maka sesungguhnya kehidupannya tidak akan berakhir dalam kematiannya. Karena apapun yang telah ia perbuat, dengan niat hidup yang baik, akan tetap hidup dalam kehidupan setiap orang yang pernah dibelanya. Maka kehidupan yang telah dilayaninya dengan setia, yaitu kehidupan yang menjadi sumber dari segala-sesuatu yang hidup, akan membalas setiap perbuatannya dan mendatangkan kesejahteraan kepada  keluarga  yang  dicintainya (11/12/1999-13/12/1999).

         

     Dalam pengertian itulah seorang ibu, yang telah berkorban bagi masa depan dan keselamatan anak-anaknya, layak untuk menerima tempat yang paling terhormat di hati anak-anaknya. Supaya doa-restu dan kebajikan daripadanya, dan juga dari para leluhurnya, dapat meneguhkan contoh dan keteladanannya yang baik. Maka di dalam menerima ibunya, Nasiti, sebagai panutan yang bijak, semua anak keturunannya juga menerima segala-sesuatu yang baik dari para pendahulunya. Termasuk keteladanan yang telah dicontohkan oleh almarhum Dawoed dan ibu Tasijem Wongsodikoro, yang makamnya berada di Karang Jengkol, Kedungreja, di sebelah utara Petilasan Ki Ageng Mataram, tidak jauh dari makam Mardjoeni, suami kedua Nasiti. Kemudian juga kenangan yang baik tentang ibu Sikem, ibunda Tasijem, yang berasal dari Sidaboa, Purwokerto, dan makamnya berada di Pengkolan Tinggar Jaya, serta bapak Samingan, suaminya, yang berasal dari Surakarta, dan makamnya berada di Purwokerto, karena di sanalah ia meninggal dunia ketika sedang dirawat di rumah sakit. Selanjutnya,  juga kenangan sejarah tentang orang-tua Dawoed Wongsodikoro, yaitu Wongsodikromo dan istrinya, Sanijah, yang makamnya berada di daerah Kedung Amba, tidak jauh dari Wanasari, Arjawinangun, Kebumen, di mana dulu Wignjo Soebroto pernah menanyakan tentang silsilah keluarga kepada Kyai Kasanpoero. Maka di dalam menghaturkan terima-kasih kepada masa lalu, baiklah pula untuk mengenang bapak Kyai Ngoesman, sesepuh keluarga. Karena di suatu malam, ketika masih berada di dalam penjara, pada saat sedang berbaring dengan anak bungsunya, Nasiti tiba-tiba melihat sosok seorang tua. Ia mengenakan ikat kepala berwarna wulung, baju surjan lorek pantiyasa, dan kain batik cewiri dengan wiron yang besar. Pada waktu berdiri, kaki kanannya nampak sedikit lebih panjang dari kaki kirinya. Menurut keterangan bapak Dawoed Wongsodikoro itulah bapak Kyai Ngusman, salah-seorang leluhur keluarga, yang telah datang pada malam itu untuk menguatkan hati anak-keturunannya. Apapun penjelasannya, tidak lama setelah itu memang ternyata Nasitem dibebaskan dari tahanan. Akhirnya, baik pula untuk dipelihara dalam kenangan Masnawi dan Soetinah, kedua  orang-tua  almarhum, yang  makamnya juga berada di Karang Jengkol, Kedungreja.

 

     Sedangkan mengenai kehidupan Soekardi sendiri, sejarah perjuangannya adalah catatan tentang masa lalu dan pegangan untuk masa depan. Banyak peristiwa sudah terjadi, walaupun hanya sedikit yang masih dapat dikenang. Maka dari yang sedikit itu   kiranya dapat dipelihara segala-sesuatu yang benar, baik, dan berguna. Karena apapun yang telah terjadi kepadanya, akan selalu ada perbedaan dalam menilai tentang perjuangannya. Apakah karena salah ia lalu menjadi kalah, ataukah karena kalah ia lalu dianggap salah? Akhirnya memang hanya sejarah di masa depan yang akan dapat menilainya dengan jujur dan adil. (23/12/1999:5/5:15/09/1932).  

Perbaikan: (Januari 2000)

[Back]

 

 

[Ben Poetica]

COLDA Air Minum Sehat               COLDA Mineral Spring Water              Sumber Air Pegunungan diproses secara Higienis      *** COLDA ***

 

Air Minum_C O L D A_ Air Minum 

Mineral Drinking Water

Hubungi Customer Service :

Jl. Palmarah Barat No. 353 / Blok B2 Jakarta Selatan

Phone: (62-21) 530 4843, 7062 1108

 Copyright©soneta.org 2004  
 For problems or questions regarding this web contact
[admin@soneta.org] 
Last updated: 11/28/2007