Esther Gloria Noritha Telaumbanua

01 Kebencian Atau Kasih?  02 Waktu  03 Di Perbatasan 04  Tanö Niha 05 Penat

   ***************************************************************************************************************************

 

01 Kebencian Atau Kasih? 

Betapa mata telah tertutup

Ketika pertikaian dan konflik

Mewarnai kehidupan

Ketika salah mengerti dan kesombongan

Bercengkerma menjadi satu

Dan rasa perbedaan

dibiarkan menguat

Yang terlahir hanya pergesekan

dan perseteruan

 

Ketika kendali budaya

dan keimanan yang sesungguhnya terlepas, terhempas

Lalu terkikis hanyut

Dibawa arus hidup yang mencekam

Maka segala yang diyakini dan diamini

Umat ber-Allah-pun lenyap

Yang tersisa kelam, gelap dan jahat 

Betapa mata hati gelap

 

Ketika kebencian dan amarah

Menari-nari di takhta kekuatan

Ketidak-benaran menginjak-injak kebenaran

Ketidak-adilan terkekeh-kekeh di atas keadilan

Egoisme mengacung telunjuk

Mengancam kebersamaan

Katanya, ini sah menurut hukum

Namun tanpa diwarnai dan dijiwai

Moralitas dan cinta-kasih

Persaudaraan terkoyak-koyak dan dilempar

Ke jurang pemisah

Yang semakin lebar dan dalam

Lalu kepuasan bertepuk dada:

Aku adalah orang ber-Allah!

 

Betapa mata hati telah tertutup

Hanya oleh selaput tipis

Yang menggelapkan segalanya

Yakni kebencian dan amarah

 

Adakah kita sadari

Yang hakiki dari hukum Allah Adalah kasih?

Namun kasih dapat berubah

Karena benci dan amarah

Dengarlah : Jangan beri tempat padanya

Beri ruang yang seluas-luasnya

Bagi hidup yang saling mengasihi dan mengampuni

 

Ah, adakah kita sadari

Kita menghirup udara yang sama

Kaki kita berpijak pada satu bumi  

Kita hidup di bawah matahari yang satu

Yang memberi kehangatan dan terang yang sama

Menyegarkan jiwa, menghangatkan hati

Menerangi mata kita untuk melihat

Jauh sampai ke balik awan

Pada satu titik temu

Dialah Sang Pencipta

 

Ketika terang sudah datang

Mengapa lagi membiarkan kegelapan menguasai?

Mengapa lagi harus ada jurang perbedaan?

Mengapa harus ada kebencian dan amarah?

 

Kebencian atau kasih?

Tak mungkin berada di ruang yang sama

 

Indahnya serikat beriman

Cerminan kasih Allah-Nya di dalam terang

Baik suka, baik keluh, berpadu berserah

Segala doa yang bernafas

Bertemu di takhta rakhmatNya

(Kalibata, Jakarta, 17 November 2004)

[Back]

 

 

02 Waktu 

Waktu berjalan cepat..

berlalu bagai angin menerpa wajah sesaat

melengos tak terlihat sisakan setitik rasa

tinggalkan aku terengah mengejarnya

 

Kucoba menghitung detak waktu

kadang tertatih lambat saat penat menunggu

bilakah datang embun sejuk mengusir gelisah

hati kusut mengalir doa tak henti: berakhir kapankah ?

 

Waktu, mungkinkah diulang kembali

inginku memutar balik usia dengan jemari

tentang masa silam pohon riwayat kan kudengar berkisah

sambil belajar dari yang dinamakan hikmah

Merangkai asa yang tersebar tergilas waktu

kan kutebar lagi mimpi dengan sukacita baru

menggores kembali peristiwa demi peristiwa

yang kelak bisa dihitung maknanya

 

Kepada waktu kupinta berhenti sejenak

kuingin menghirup udara nafasku yang menyesak

kepada waktu  kutanyakan apa nasibku nanti

namun waktu tak pernah berhenti..

(Suropati dua, menjelang akhir tahun, 8 Des 04, egnt)

[Back]

 

 

03 Di Perbatasan 

Aku berdiri diperbatasan ini

Kubiarkan semua mata mengerti

Aku disini sepanjang hari menjaga hatiku sendiri

 

Kupikir: akankah aku berada disini terus?

Ataukah melangkah ke lorong panjang tanpa rumus

Ke teluk cinta aku terjerumus

 

Karena ku ingin terbang, terbang jauh hatiku

Menantang angin bersama bayangmu

Menantang dingin bersama hasrat ini

Ketika nyala cinta berkobar di dada ini sekali lagi

 

Maka kukepakkan sayap kebebasan

Kupaksa diri menemukan satu kata: keberanian!

Menyeruak di antara pembatas yang merentang

“kan tuntunku melabuhkan malam bersama bintang

 

Lalu, bercermin aku di tembok kesetiaanku

Mencoba tak berpaling sampai di batasku

Kutanya pada langit: layakkah memuja cinta ini?

Sesuaikah bayarannya: sebuah resah di hati?

(Kacau!, Di jalan, 18/11/2004 21:00 egnt)

[Back]

 

 

04 Tanö Niha 

Tanö Niha, oh tanah kelahiran

di bibir pantai barat memutih panjang tak terukur

di pinggir lautmu biru dalam tak terselam

di lambaian nyiur yang dingin menyakitkan

kami berduka

ratusan nyawa melayang begitu saja

ribuan hilang entah kemana ditelan gelombang

jemari tak cukup menghitung

rumah dan ladang hancur sekedip mata

tempat berteduh dan hidup sudah tiada

 

Oh Tanö Niha, tanah kehidupan

dimana ama dan ina melahirkan kami

dengan bangga menorehkan tanda di darah ini : ono Niha !

megap nafas, sesak dada ini

teriris rasa hati menatapmu

rinduku belum terjejakkan di pulau

ingin membalas kasihmu padaku

oh ina, oh ama, oh saudara sedarah sedaging

tanö niha terbujur kaku sudah

hanya sebuah garis lurus di bibirmu yang dingin

warna kulitmu tak putih lagi, hitam

bagai bunga layu di taman, lunglai tak harum lagi

gugur membusuk menyatu dengan tanah

ah dari tanah kembali ke tanah

 

Oh Tanö Niha, oh tanah harapan

wajah tertunduk mata terpejam

tak ada kata-kata lagi, air matapun kering

terguncang raga ini oleh kengerian

sekuat tenaga rohku mencoba tengadah bicara:

Wahai yang mencipta, yang empunya

tanah, air, dan kehidupan diatasnya

perlukah kami bertanya: mengapa ini harus terjadi?

terlalu gelapkah hati

terlalu hitamkah tangan dan kaki

terlalu hinakah hidup ini

telanjang bathin kami di hadapanMu, ampunilah

Wahai sang kuasa atas waktu dan berkehendak atasnya

atau sudah tibakah saat yang dinanti umat

kembali ke tanah harapan

di mana ada kehidupan kekal

bila ini jalannya, mengapa harus terasa sakit?

 

Oh Tanö Niha, di tanah harapan ini kusadari

betapa hidup ini bagai tarian maena

melangkah ke depan lalu sebentar mundur

berbelok, memutar, lalu menghadap kembali

gelombang tawa mengikuti irama

indah ketika tangan mengayun senada

dan terputus ketika langkah berbeda

mungkin begitulah aturannya, mari ikuti

 

PadaMu ya Tuhan, kami berdoa

ajar kami menerima semua ini

beri kuat menahan nestapa ini

bangkitkan jiwa kami, arahkan roh kami

agar kami mengerti kehendakMu

agar kami mampu lagi tersenyum

dan menaikkan puja dan puji syukur

seperti waktu lalu

seperti yang pernah dituturkan ama dan ina

seperti yang biasa dilakukan iratuada meföna

 

Oh Tanö Niha, bagimu aku berdoa

jangan pernah hilang harapan

tetaplah hidup!

lihatlah matahari masih bersinar

langit di atas kepala masih biru

kita masih bernafas, masih ada kesempatan

rengkuh kembali keindahan ini

biarkan gelombang berlalu

karena dibalik gelombang dasyat itu ada tersembunyi

yang hanya bisa dilihat mata hati

sebuah rahasia hidup

yang dijanjikan sang pencipta bagi kita, Ono Niha.

(Suropati dua, 31 Des 2004, jam 14:00, EGNT)

Dibacakan pada, Doa Untuk Negri, Jan 2005 dan  

Malam Natal Bersana Ono Niha se Jabodetabek, Januari 2005

[Back]

 

 

05 Penat

Ketika hari-hari adalah penat dan lelah

  Ketika piker satu dengan penat

Ketika hati lebur bersama lelah

   Ingatlah bahwa rindu adalah kehidupan

     Bahwa hidup adalah perjalanan meniti

  Yang disebut waktu adalah perjalanan

       Hari-hari yang berputar tanpa bias diatur

         Karena memang harus begitu dan harus dilalui

     Sampai tiba waktunya akan berhenti sendiri

      Kalibata 08/03/2005

    [Back]

                                                                               

[Soneta Indonesia][Puisi Parakanca]

 Copyright©soneta.org 2004  
 For problems or questions regarding this web contact
[admin@soneta.org] 
Last updated: 15/06/2015