01 Jika Tuhan Berkehendak
Satu-satu kenikmatan
Diambil hak-Nya
Dari piutang tak terselesaikan
Satu-satu kecepatan
Dicabut hak-Nya
Satu-satu
Apa yang jadi milik-Nya
Kembali kepada hadapan-Nya
Tapi kita begitu angkuh
Dari kebutuhan tak pernah usai
Jika Tuhan berkehendak
Penyadaran terkalahkan
Satu-satu diambil hak-Nya
Hingga badan berbantal tanah
[Back]
Waktu pun kita mainkan
Pulang, waktu terbunuh
Menggelinding dalam darah daging
Tanpa nyeri
Otakku kosong
Bicara bahasa sunyi
Luka tersayat
Gelap. Setingkah tanah perkuburan
Dialiri rindu wajah
Waktu bosan bermain
Pulang, ajal terbunuh
Tanpa ruh dan haus darah
Di kerajaan dunia
Yang tak bertepi tak terbaca
[Back]
03 Sketsa Segelas Dialog
Sungguh jinak menyanyikan kepingan kegetiran
Ia begitu tipis
Bak tarikan nafas kebisuan
Mendekam di ujung-ujung ilalang
Lalu sempurna hembuskan debas
Seterusnya kepiluan mengental mendekam
Meski pemberontakan tumpah kau ayak di antara ujung miang
Akhiri luka-luka
Meski ia tetap milik sejarah
Sejarah itu milikmu
Suatu hari nanti
Kau akan memerlukannya
Mesti sebuah peristiwa kerap sertakan kebohongan
Akhir dialog kita pun sempurna tergagap di kebisuan
[Back]
04 Aib Sejarah
Lihatlah! aib sejarah dibongkar
Orang-orang mati atas teriakannya
Di lubang satu suara
Lihatlah! aib sejarah diputar
Orang-orang mati atas pembesarannya
Di ribuan peti
Lihatlah! aib sejarah bernyanyi
Orang-orang mati di atas satu suara ribuan peti mati
Lihatlah! aib sejarah bak seruan kebebasan
Dari serumpun penderitaan atas keterpakuan sejarah
Yang menanam jutaan kepala manusia
Di bumi kelahirannya
Aib sejarah adalah sebuah sejarah
Penerus kekuasaan nekrofogus
[Back]
05 Sisa Waktu
Ketika sinar kehidupan mengeluarkan kita dari kematiannya
Yang terdalam, tanpa sadar kemarau tempat kita berpijak
Menangis, anginpun bergetar menyambut suaramu
Mengapa kau sembunyikan imanmu. Sehabis berkata, tiba-
Tiba pucuk puncak lidah udara membelah mengungkung
Susuri ratusan kilometer kereta kemanusiaan
Yang tlah berlumpur dari kemiskinan ruang
Dan ketakutan yang bersembunyi di tubuh
Seperti mendung tengah berarak mendekati kegelapan
Tinggal satu detik! mari kita jemput desah-desah nafas
Kebebasan yang memanggil rindu. Kataku
Saat itu guguran air-mata mengejar sisa-sisa perjalanan
Yang kita tinggalkan, kemudian gelisah oleh sisa waktu
Mengusik paruh keagungan budaya
[Back]
06 Usai Gerimis Malam
(Di atas jemari tangannya)
Ada suara angin merintih perih
Ketika kabut hitam merengut cintanya!
Ada suara merintih nyeri;
Ketika pisau-pisau hujan mengiris rasa hampa
Dari kisi-kisi lubang udara yang menakutkan
(Di atas jemari tangannya
Suara-suara itu kering
Menusuk pedih ke rongga malam)
Usai gerimis di ujung kegelapan
Tak lagi ‘ku dengar kebisuan memilu
Sebab pagi pun menepati janjinya
Kenangan adalah sebuah cerita
Dari alam nyata yang mengerikan
[Back]
07 Solo-Yogya
Di antara patah kepak sayapnya yang putih kemilau
Dijemput tangis anaknya di atas bukit
Apa lagi yang mesti kau tangisi, hai anak!
Tangis tak selamanya menjadi butiran terang
Pecutlah kemarau panjang, ‘kan kau lihat satu
Di antara debu puing Prambanan
Ada kidung perih tak terwujud. Serunya
Di antara tarikan terseok-seoknya andong, ia berdiri
Tangisan anak di atas bukit beterbangan,
Mengitari petak sawah menuju kota,
Melewati Prambanan terselimut hitam. Hitam
Ia pun tertidur di dalam kabut gelap
Dan tak mengenal diri anaknya yang sebenarnya
Tidak juga tentang tangis itu
[Back]
08 Pejagalan 6566
Rintih lirih ribuan kepala di 6566
Dongeng kemenangan kebenaran
Dari tumbal pengorbanan pemaksaan
Rintih lirih ribuan kepala di 6566
Dongeng sejarah pembenaman
Dari simbol kebersalahan sang pemenang
Rintih lirih ribuan kepala di 6566
Dongeng sunyi sesak siksa
Sisakan garis perih
Dari seringai masa depan
Rintih lirih ribuan kepala di 6566
Kian memanjang tak berbatas
Dan tetap bungkam
Di gaung kemenangannya
[Back]
[Soneta Nusantara] - [Nusantara Sonnets]
Pengelola Baktinendra Prawiro, Retno Kintoko
Pengelola Baktinendra Prawiro, Retno Kintoko